Selasa, 19 Mei 2009

DALAM PLURALITAS WARGA DAN BUDAYA



Abad ke-21 di tandai dengan adanya sebuah proses globalisasi yang diwarnai dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antar manusia di seluruh dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Tak dapat dipungkiri bahwa proses globalisasi diikuti mobilitas tenaga kerja dari satu negara ke negara yang lain. Tenaga kerja yang bekerja di negara lain biasa diberi nama “kaum migran”. Ada kurang lebih 300.000.000 para migran di dunia. Indonesia merupakan salah satu “sending countries” utk para buruh migran. Diperkirakan jumlah para migran Indonesia yang berada di luar negeri sebesar 4,5 juta orang. Sebagian besar di antara mereka adalah perempuan dan bekerja sebagai domestic worker (Pekerja Rumah Tangga-PRT). Tahun 2008 saja ada 157.031 orang Indonesia yang ke luar negri untuk bekerja.

Fenomena migran di Italia
Di Italia, ada lebih dari 4 juta imigran. Rentetan polemika dan masalah seputar fenomena migrasi mewarnai berita-berita di tahun terakhir di kota Roma. Arus migran yang melabuh dari Afrika di Lampedusa (Italia Selatan) membangkitkan reaksi yang keras dari pemerintah Italia. Tidak hanya itu, berita seputar kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan tindakan kriminal lainnya yang melibatkan para migran menghebohkan masyarakat italia. Akibatnya banyak orang Italia yang berpikir bahwa para migran itu menjadi sebuah ancaman akan keamanan masyarakat setempat. Tak heranlah kalau akhir-akhir ini menteri pertahanan negara mencoba mengajukan undang-undang yang bisa memberikan sedikit beban bagai para migran atau sedikitnya memperlemah keinginan para migran untuk mencari nafkah di tanah Italia. Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah memang para migran itu menjadi sebuah ancaman bagi kenyaman hidup masyarakat setempat? Adakah nilai penting yang bisa ditonjolkan dari sebuah komunitas multietnik yang dengan lancangnya perdana menteri Italia Silvio Berlusconi menolak?

Festa Dei Popoli
Beberapa hari yang lalu (Minggu 17 mei 2009) para migran di kota Roma berkumpul di Basilika dan halaman Santo Yohanes di Lateran untuk merayakan sebuah pesta yang lazim diberi nama “Festa Dei Popoli” (Pesta Semua Orang). Pesta ini diorganisir oleh Misionaris Scalabrinian, sebuah kongregasi yang didirikan pada tahun 1887 oleh seorang uskup Piacenza (Italia Utara) Yohanes Battista Scalabrini. Mereka berkarya untuk para migran, pengungsi dan pelaut. Dalam menyelenggarakan pesta ini mereka bekerja sama dengan Vikariat Roma dan pemerintah kota Roma.
Edisi pertama Festa Dei Popoli dengan tema “Bersama Tanpa Batas” dibuat pada tanggal 3 Mei 1992. Tiga belas tahun pertama pesta ini dibuat di Paroki Santissima Redentore di Valmelaina yang dipercayakan kepada Misionaris Scalabrinian. Setiap tahun jumlah partisipan bertambah dan tempat pesta tidak lagi bisa menampung banyaknya orang yang hadir. Pada tahun 2005 pesta ini dipindahkan di Basilika dan Halaman Santo Yohanes di Lateran, sebuah tempat yang biasa dipakai untuk menyelenggarakan event-event penting di kota Roma. Pesta ini disiapkan secara matang dengan membentuk sekelompok frater yang mengunjungi semua komunitas migran yang ada di Roma guna mengajak mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam pesta yang dibuat oleh para migran dan untuk para migran itu sendiri. Pesta ini berlangsung sehari penuh dan didalamnya terdapat berbagai sektor seperti: kelompok penerima tamu, pameran barang-barang khas di berbagai stand yang telah disediakan olah panitia, perayaan ekaristi bersama, merasakan masakan khas dari masing-masing negara, dan juga pertunjukan tarian budaya nasional. Pesta ini ditandai dengan partisipasi nyata dari para migran, memberikan peluang yang baik bagi sebuah komunitas yang mencari jawaban akan kemultietnikan: kepandaian dalam membagi, penerimaan satu sama lain dan keberanian untuk hidup bersama.
Tema pesta tahun ini”Roma con gli altri occhi” (Roma dengan Mata yang lain) memberikan pesan yang jelas bahwa segala macam polemika seputar para migran dan semua berita yang datang dari politik di bidang ini tidak bisa dan tidak harus menghalang sebuah “tatapan” positif seputar pengalaman hidup bersama yang baik khususnya di kota Roma. Para migran membawa warna yang baru dan dapat memperkaya budaya setempat.

Partisipasi Indonesia dalam Festa Dei Popoli
Tahun ini untuk pertama kalinya Indonesia berpartisipasi secara aktif dalam pesta. Ada lebih dari 700 orang Indonesia di Italia dan lebih dari separuhnya tinggal di Roma. Di stand Indonesia mereka memamerkan barang-barang kerajinan tangan, gambar-gambar dan barang-barang khas lainnya yang memberikan gambaran sedikit tentang Indonesia. Banyak orang yang mengunjungi stand ini dan kerapkali meminta untuk berpotret bersama dengan orang Indonesia yang mengenakan busana tradisional. Untuk makan siang, kelompok Indonesia menyiapkan nasi goreng yang dalam sekecap habis meskipun itu harus dibayar 5 Euro.
Dalam acara tarian budaya, Indonesia menampilkan tarian “poco-poco”. Ada 14 penari Indonesia yang mengenakan busana tradisional (batik) dengan warna-warni yang begitu menarik. Waktu penari Indonesia menari di panggung, banyak orang Indonesia yang hadir dalam pesta ikut menari di tempat mereka masing-masing. Mereka dengan bangganya mempertontonkan pula bendera merah putih yang mereka bawa.
Hal yang menarik perhatian panitia dan para hadirin adalah bahwa kelompok Indonesia (khususnya yang menari) terdiri dari penganut agama yang berbeda-beda. Ada yang beragama katolik, protestan dan bahkan ada satu gadis muslim yang mengenakan jilbab. Berbeda dengan kelompok dari negara lain yang notabene penarinya semua katolik, Indonesia memberikan sebuah contoh hidup bersama dari masyarakat yang berbeda agama. “Berbeda-beda tetapi satu” justru merupakan spirit dari festa dei popoli. Taklah heran kalau pembawa acara berkomentar positif pada kelompok Indonesia. Siaran berita seputar Festa Dei Popoli di televisi nasional Italia juga memberikan tekanan khusus pada kelompok Indonesia.

Dunia yang Terbuka
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa dunia memang sudah berubah. Teknologi tinggi memudahkan mobilitas manusia dari satu daerah ke daerah yang lain, dari satu pulau ke pulau yang lain, dari satu negara ke negara yang lain, dari satu benua ke benua yang lain. Tak satupun negara di dunia ini yang tidak punya seorang migran. Migrasi sudah menjadi sebuah fakta dan semua negara diharapkan untuk terbuka pada para migran dan warna budaya yang mereka tunjukkan. Festa dei Popoli kiranya menjadi sebuah gambaran akan adanya kemungkinan untuk hidup bersama yang rukun dan pertemuan budaya yang memperkaya baik untuk para migran maupun masyarakat setempat.


Fr. Yance Guntur, cs

Rabu, 06 Mei 2009

YOHANES BATTISTA SCALABRINI: PENDIRI KONGREGASI SCALABRINIAN


KELUARGA DAN MASA KEKANAKANNYA

Scalabrini dilahirkan pada tanggal 8 Juni 1839 di Fino Mornasco (Como) dari pasangan Colomba dan Luigi Scalabrini. Sebagaimana kebiasaan saat itu, dia dibabtis pada hari lahirnya dengan nama “Yohanes Battista Scalabrini”. Dia masuk Sekolah Dasar (SD) di tempat kelahirannya dan kemudian meneruskan studinya di Ginnasio al Liceo Volta di Como, Italia utara.

Keluarga Scalabrini adalah keluarga kristen yang saleh dan justru di sinilah panggilannya untuk menjadi imam mulai bertumbuh. Pada bulan Oktober 1857, bersama ayahnya, dia pergi mendaftarkan diri di Seminari Santo Abbondio. Ayahnyalah pula yang pernah menulis surat untuk vicar di seminari ini supaya anaknya Scalabrini diterima untuk belajar filsafat di sana. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah dia ditahbiskan menjadi uskup. Hubungan dengan ibunya juga begitu baik. Dia sering menjuluk ibunya sebagai pembimbing hidup dan iman. Dialah yang mengajarkan kepada Scalabrini devosi untuk salib suci dan doa Rosario. Dia selalu berterima kasih kepada ibunya atas segala ajaran yang telah dia terima darinya. Pada tahun 1875 dia menerbitkan sebuah buku katekese yang berjudul, “piccolo catechismo” (katekese sederhana). Dia mendedikasikan buku kecil ini untuk ibunya dalam rangka mengingatkan sepuluh tahun kematiannya. Dari ibunyalah pula dia belajar untuk mencintai orang miskin.

Scalabrini adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Anak pertama pasangan Luigi-Colomba, Antonio, hampir dipenjara karena masalah utang yang menimpanya dalam pengelolaan usaha kecil yang dimiliki keluarganya. Anak kedua, Giuseppe, mencoba untuk mengadu nasib di tanah asing tapi sayangnya dia meninggal ketika kapalnya tenggelam di lautan Perù. Kedua adiknya, Pietro e Angelo, melanjutkan studi mereka masing-masing dan berhasil dalam karirnya. Pietro menjadi wakil gubernur Paranà dan setelah itu menjadi direktur museum Escolar di Buonas Aires dan dosen tetap di universitas untuk fakultas ilmu pengetahuan alam. Adiknya yang lain,Angelo, setelah mendapat sarjana di bidang leteratur dan filsafat, mengajar di Como dan kemudian menjadi pengawas umum untuk sekolah-sekolah Italia di luar negeri di bawah wewenang kementrian pendidikan nasional.

Scalabrini mempunyai 3 saudari yang begitu dekat dengannya. Saudari pertama, Maria Maddalena, menikah dan dua dari anaknya menjadi imam, monsiyur Attilio Bianchi, yang mana setelah beberapa jangka waktu berkarya untuk Tahta Suci, memilih untuk menjadi rahib. Anak keduanya, Romo Alfonso melayani umatnya di dioses Como. Dua saudarinya yang lain adalah Giuseppina Giacinta dan Luisa. Luisa selalu bersama Scalabrini dalam karya social dan amal bakti. Dia dipercayakan oleh Scalabrini untuk mengolah “tempat penampungan” yang didirikan di Paroki Santo Bartolomeus di Como. Dia meninggal dunia pada tahun 1943. Hanya dialah dari saudara-saudarinya yang memberikan kesaksian dalam proses kanonisasi Scalabrini.

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya, Scalabrini masuk SD di Fino Mornasco dan terus ke Liceo volta di Como (1851-1857).

Bulan Oktober 1857 dia masuk seminari menengah St. Abbondio di Como. Teman-teman dan guru-gurunya sering menganggap dia sebagai murid yang patut diteladani, murah hati, dan lebih khusus dikenal sebagai seorang yang sangat tertarik pada sains dan bahasa-bahasa asing. Dia begitu fasih untuk berbicara dan menulis dalam bahasa Yunani dan Latin. Dia juga tahu bahasa Ibrani dan fasih berbahasa perancis. Dia mengerti bahasa Inggris dan Jerman. Dia selalu mendapat ranking satu di kelasnya. Pada musim gugur tahun 1859 dia melanjutkan studinya di Seminari tinggi.


IMAMAT, FORMATOR DAN REKTOR

Scalabrini ditahbiskan menjadi imam pada tanggal 30 maret 1863 dan ini terjadi berkat dispensasi khusus yang diberikan kepadanya meskipun dia belum mencapai umur 24 tahun. Selama musim panas, dia hanya berkarya sebagai pastor pembantu di beberapa paroki dan merasa seperti tugas imamatnya begitu terbatas. Dari situlah keinginannya untuk menjadi missionaris begitu kuat sebagaimana dipaparkannya saat menyerahkan salib suci kepada missionarisnya yang pertama. Beberapa minggu setelah tahbisan, dia dipilih untuk menjadi wakil rektor dan guru sejarah dan bahasa yunani. Di samping tugas pendidikan, dia juga begitu aktif dalam karya bakti dan pelayanan bagi orang yang lemah. Misalnya saja pada tahun 1867 dia membantu mereka yang menderita penyakit kolera di portichetto, sebuah kampung kecil dekat Mornasco. Di tahun yang sama pada bulan Oktober dia diangkat menjadi rektor. Dia menjabat sebagai rektor seminari sampai pada tahun 1870. Banyak yang melihatnya sebagai seorang yang baik hati, sederhana dan berdaulat dalam tutur kata dan dalam hal lainnya dan juga berpendirian tenang dan mempunyai integritas yang baik. Program yang dia canangkan adalah: “meningkatkan pendidikan dan penyuluhan bagi para calon imam yang masih muda”. Di tahun-tahun inilah dia mendapatkan sebuah persahabatan sejati seperti persahabatannya dengan beato Guanella (dia juga melayani para migran), dengan seorang ilmuwan Serafino Balestra (Rasul Bagi para bisu dan gagap) dan juga dengan ilmuwan-penulis Antonio Stoppani.
Tahun 1868 lahirlah perjalinan yang erat dengan uskup Geremia Bonomelli, waktu itu menjabat sebagai prevosto di Lovere dan kemudian menjabat sebagai uskup di Cremona.


PASTOR PAROKI DI COMO


Tanggal 12 mei 1870 Scalabrini dipilih menjadi pastor paroki Santo Bartolomeus, di pinggiran kota Como. Rupanya dia dipindahkan ke sana akibat keteganganan antara kaum intrasigen dan transigen yang pada waktu itu menggoncangkan gereja dalam prihal yang lazim disebut Questione Romana. Scalabrini dicintai oleh semua anak seminari tetapi tidak dilihat serupa oleh para imam yang lebih tua yang mana dia ditudung sebagai seorang yang mengejar ambisi pribadinya. Di tahun-tahun itu dia menjadi pioner untuk beberapa karya amal, di antaranya sebuah tempat penampungan (asilo) pada bulan November 1874, yang sejak awal selalu dipadati oleh sekitar 200 anak-anak, sebuah oratorium, salah satu di antara yang pertama di buka di Como, dan Karya Santo Vinsensius yang melayani anak-anak dan orang sakit. Begitulah Scalabrini menyerahkan diri untuk memenuhi apa yang sering dia sebut “kewajiban para imam dan semua orang tua”: menyuluh secara religius guna mengajar secara kristen. Dia juga menulis “Sebuah buku katekese untuk yang dititip selagi masih bayi”, yang telah dicetak pada tahun 1875: sampai sekarang dianggap sebuah karya yang revolusioner dalam sejarah katekese di Italia. Dengan itulah dia terkenal di bidang katekese.

Pada tahun 1872 di katedral Como dia menyelenggarakan sebelas konferensi seputar Konsili Vatikan Pertama yang kemudian di publikasikan dalam beberapa edisi dan diterjemahkan dalam bahasa Perancis dan Jerman. Waktu itu nama Scalabrini melampaui batas-batas paroki Santo Bartolomeus. Beberapa orang menyatakan bahwa justru tulisan-tulisan ini yang menggerakkan Paus Pius ke-IX untuk memilihnya menjadi uskup. Itulah waktu-waktu yang paling sulit dalam lingkungan gereja katolik: dalam selang waktu dua tahun Konsili ditutup dengan menyatakan bahwa Paus itu infalibel (ketidakdapatsesatan dalam mengajarkan dan penyingkapan kebenaran). Dogma ini membangkitkan banyak reaksi yang berlebihan. Scalabrini, berkat sebelas konferensi ini, berhasil menyenangkan banyak jiwa yang tergoyah di Como. Dia sendirilah yang meminta untuk menerbitkan tulisan-tulisannya. Dengan itulah dia memberikan gambaran lebih dulu sebuah bimbingan konstan dalam karya pastoralnya dan dalam sikap ideologisnya: iman dan kesetiaan di hadapan Bapa Paus, tetapi juga kebebasan berpendapat sebelum keputusan yang desisif. Secara praktis, Scalabrini menyatakan bahwa Paus itu infalibel, tetapi infalibilitasnya tak mencakup keseluruhan pribadi paus: dia tak infalibel dalam kesadaran dan pengetahuan hal-hal duniawi, tidak “ketidakberdosaan, iman terasing seorang kepala terpisah dari anggota-anggota, promulgasi tanpa ujian akan kebenaran, tak pernah sesat dalam segala hal”. “Infalibilitasnya tak berarti tak mewajibkan dia untuk menyimak semua doktrin, mencari konsultasi, membuatnya bersandar pada para uskup dan konsili-konsili...”.
Scalabrini juga tertarik pada dunia kerja. Dia mendirikan sebuah Società yang pertama dan pada tahun 1899 menulis sebuah opuscolo “Il Socialismo e L'Azione del Clero” (Socialisme dan Gerakan para klerus”, yang mana dia telah mendeskripsikan semua drama di waktu itu. Di lembaran-lembaran ini nampak jelas problem sosial dan juga problem religius yang terpengaruh darinya. Faktanya, sebagai pengaruh tersebarluasnya “revolusi industri” termasuk di Italia, kelas buruh mulai menjauhkan diri secara berangsur dari gereja. Masalah ini sungguh menarik perhatian Scalabrini lebih khusus pada masa episkopalnya.

Hanya setelah 5 tahun dia berkarya di paroki Santo Bartolomeus, tiba dari Roma sebuah pemberitahuan resmi bahwa Bapa Paus telah memilih dia sebagai uskup Piacenza. Itu terjadi tanggal 13 desember 1875 waktu dia masih berumur 36 tahun. Dia berusaha untuk memikirkan kembali keputusan itu dengan mengirim ke Roma semua motivasinya, dari umurnya yang masih muda sampai persiapan yang belum matang untuk menerima jabatan yang baru itu. Pius ke-IX tak mau mengindahkan permintaannya. Begitulah, meskipun dalam kepedihan untuk meninggalkan parokinya yang dia cintai dan tempat di mana dia telah menanam dasar-dasar untuk karya pastoral, Scalabrini memberikan persetujuannya.


USKUP PIACENZA

Sebagaimana telah diingatkan tadi bahwa pada tanggal 13 Desember 1875 Scalabrini menerima pemilihan sebagai uskup Piacenza. Rupanya ada beberapa orang yang telah menunjukkan namanya pada Paus Pius ke IX, diantaranya St. Yohanes Bosco dan juga uskup Pavia Monsiyur Parocchi. Acara misa konsakrasi diselenggarakan pada tanggal 30 Januari 1876 di tangan Kardinal Alessandro Franchi, di kepela collegio di propaganda Fide di Roma.

Di tahta keuskupan Piacenza, Scalabrini mengganti pendahulunya Monsinyur Antonio Ranza (Piacenza, 1801-1875), yang telah menggembala umat Piacenza dari tahun 1849 sampai tahun 1875. Penerimaan secara resmi di dioses Piacenza diadakan pada tanggal 13 Februari. Dia bermalam di Codogno, sekitar belasan kilometer dari Piacenza, dan berangkat dari sana segera setelah matahari terbit. Perarakan begitu meriah diiringi grup drumband menuju gedung serbaguna St. Rocco dan di sanalah dia mengenakan semua perlengkapan keuskupan yang telah diberikan kepadanya dari Tahta Suci. Dari sana mereka menuju katedral, dimana untuk pertama kali secara resmi dia bertemu dengan umat-umat Piacenza. Pertemuan pertama memberikan kesan baik bagi umat di sana. Orang-orang di sana setelah melihatnya bersahut, “Cma l'è bel!” (“Betapa gantengnya”). Semua orang begitu kagum dengan kotbahnya, dia berbicara dengan suara yang jelas dan tegas, menyentuh dan sangat memikat. Bagi umat di sana ini merupakan hal yang lazim terjadi. Pendahulu-pendahulunya sebetulnya tak berbicara sebaik yang dia lakukan apalagi pada waktu itu belum ada salon-salon dan amplifier yang dapat membesarkan suara.

Penerimaan uskup baru Piacenza, Yohanes Battista Scalabrini, diselenggarakan tepat pada perayaan peringatan 600 tahun kematian seorang beato dari Piacenza Paus Gregorius ke- X.
Dalam kegembalaannya uskup baru Piacenza ini tertulis: “Charitatis Potestas”, sebuah slogan yang telah menjadi roh yang menggerakkan setiap karya pastoralnya. Lambang keuskupannya mewakili tangga Yakob: satu malaikat yang turun tangga dan yang lainnya naik tangga. Dan di puncak di atas tangga terlukis mata Allah dan di bagian bawah dari lambang ini tertulis: “Video Dominum innixum Scalae” (Kumelihat Tuhan yang bersandar di dalam tangga).

Hari-hari pertama dalam episkopatnya, Scalabrini meluangkan waktunya untuk mengunjungi semua institusi-institusi di kota Piacenza. Sebagaimana tertera dalam surat kabar “L'Unione” pada tanggal 26 Februari: “Terus berlanjut kunjungan ke semua institusi-institusi Piacenza. Di mana-mana banyak orang yang mengikutinya, bersemangat untuk melihatnya, untuk mencium tangannya, atau sekurangnya untuk melihat baju jubahnya.” Pada akhir kunjungannya, uskup Scalabrini kembali ke ruang belajarnya untuk manganalisa situasi diosesnya.

Kita perlu menengok sedikit kira-kira bagaimana situasi dioses Piacenza pada saat Scalabrini masuk sebagai uskup. Luas dioses Piacenza terbentang 2162 di propinsi Piacenza dan sebesar 914 km di Propinsi Parma: 46% daerahnya terdiri dari gunung, 33% bukit-bukit dan 19% dataran. Jumlah penduduknya sebesar 241.000 dengan 364 Paroki, banyak di antaranya mempunyai sedikit umat. Imam projo ada 735 orang, sementara 60 di antaranya termasuk klerus regular.

Kehidupan ekonomi di piacenza pada umumnya tergantung pada pertanian yang hanya menggunakan peralatan primitif. Tak berguna banyak usaha untuk memperkenalkan teknik baru dan penanaman baru. Gunung yang hanya memberikan penghasilan yang begitu kerdil: potongan kayu, castagna dan kentang. Di bukit-bukit kecil biasanya pertumbuhan anggur, gandum, jagung, kacang-kacangan, dan beberapa jenis buah-buahan. Pemasukan sungguh rendah dan ada banyak yang terpaksa harus beremigrasi untuk mencari hidup yang lebih baik. Di teritori ini juga ada industri sutra, gabus, dan lino, tapi persaingan dari kota-kota Lombardia sekitarnya begitu kuat sehingga ndak bisa berkembang sepenuhnya. Komunikasi dengan kota-kota tetangga tak begitu baik; Pesisiran utama dan gunung-gunung pada dasarnya hanya bisa lewat tembok penghubung peninggalan roma dan abad pertengahan, hampir tak dapat masuk pada musim salju.

Inisiatif pertama yang dia buat di diosesnya yakni pembinaan eklesiastis- di antara pertanyaan-pertanyaan pertama yand dia hadapi selama tahun pertama kegembalaannya, satu yang menyangkut para klerus dan formasi untuk anak-anak seminari. Terima kasih atas pengalamannya yang matang di Como, dari beberapa petunjuk yang ditinggalkan oleh Monsinyur Ranza, pendahulunya, dan dari pertemuan pertama dengan para imam setempat, Scalabrini langsung bergerak untuk menata satu di antara beberapa daerah yang berada dalam bayang-bayang pastoral italia di waktu itu: kurangnya pendidikan intelektual dan spiritual para imam pada umumnya, kurangnya kontak antara para imam dan para umat, kurangnya bimbingan religius dari masyarakat.

Begitulah, mengikuti jejak Rosmini, St. Karolus Borromeo dan St. Fransiskus dari Sales, dia menerapkan pembaharuaan spiritual dan budaya untuk para imam, demi persatuan gereja. Dia memulai sebuah reformasi studi eklesiastis dan seminari-seminari, reformasi katekese, menghidupkan sebuah disiplin dan kerohanian imamat. Kemudian dia memulai memikirkan kunjungan-kunjungan pastoralnya.

Surat gembalanya yang ketiga pada bulan Agustus 1876 ditujukan kepada para imam Piacenza, mengingatkan mereka akan pentingnya latihan rohani. Latihan rohani dimengerti bukan hanya sebagai waktu untuk pengalaman rohani, tetapi juga lebih khusus sebagai revisi dan rencana hidup: “bekerja, melelahkan diri, berkorban dalam segala cara memperluas Kerajaan Allah dan menyelamatkan jiwa-jiwa; menempatkan diri, kukatakan demikian, berlutut di depan dunia untuk memohon rahmat agar diijinkan untuk berbuat baik kepadanya, hanya inilah ambisi seorang imam. Semua kekuasaan, otoritas, industri, pengajaran, kekuatan, semuanya diterapkan untuk tujuan ini.”

Scalabrini juga mengajak para imam Piacenza untuk memperdalam studi dan formasinya. Dia juga punya komitmen untuk promosi panggilan: “Menambahkan jumlah para imam, tegasnya, sama dengan memberikan hidup pada semua perbuatan baik”. Berhubungan dengan panggilan imamat, dia juga tertarik dengan formasi religius anak seminari. Dia mengaktifkan kembali kantor pembimbing rohani yang sudah tak dipakai lagi. Waktu itu di dioses Piacenza ada tiga institusi untuk formasi esklesiastis: Seminari Urbano, bertempat di kota, Seminari Bedonia, di pegunungan, Collegio Alberoni, di pinggiran kota.

Scalabrini memperbaharui displin dan program studi di ketiga seminari ini, mendahului 3 tahun reformasi tomasiana dari Paus Leone ke-XIII, dan untuk lagu-lagu gregorian mendahului reformasi Paus Pius ke-X, dengan menginstitusikan katedra dan praktek gregorian. Tetapi periodo ini ditandai dengan berkurangnya jumlah panggilan untuk menjadi imam: sebab utama seringkali terkait dengan kemiskinan keluarga para calon. Scalabrini pada tahun 1892 menunjukkan cintanya tetapi juga segala kecemasannya pada situasi yang dialami anak-anak seminari:
“Kumencintai mereka bagaikan aku mencintai alis mataku, karena dalam harapan-harapan yang bertumbuh untuk imamatlah aku melihat masa depan yang lebih cerah untuk umatku. Untuk ini aku menyerahkan diriku sepenuhnya dan rela akan pengorbanan yang sangat besar, melakukan segala sesuatu yang mungkin saat ini; tetapi hanya bergantung pada kekuatanku sungguh tak cukup. Seminari-seminari sungguh miskin, dan pada umumnya sungguh miskin pula para calon yang diterima untuk masuk seminari. Hampir semua, sebagaimana nampaknya, datang dari keluarga yang sedikit atau tak punya apa-apa, dan olehnya kurang lebih membutuhkan bantuan, sehingga bebannya bisa dikurangi.”

Untuk itulah pada tahun 1892 dia mendirikan “Karya di S. Opilio untuk para calon imam miskin”, yang mana semua umat dan para imam Piacenza diwajibkan untuk menyumbang sesuatu.

Scalabrini juga mempunyai perhatian khusus untuk para biarawan-biarawati dan semenjak dia menjadi uskup piacenza dia mempunyai komitmen yang kuat untuk memberikan perhatian khusus untuk mereka. Faktanya seringkali untuk tugas pewartaan dan karya amal, dia mendapat kerjasama ordo-ordo dan kongregasi-kongregasi religius yang dia anggap sebagai sebuah rahmat Allah. Sebagai contoh, pada sinodo pertama yang dibuat pada tahun 1879 dia mengajak semua pastor paroki untuk menjelaskan kepada para umat kelebihan hidup biara; kepada biarawan amal, observasi, keselarasan di antara mereka dengan imam dioses dan ketataatan pada uskup; dia memuji dedikasi dari para suster dan dia menyediakan sesuatu untuk para suster di clausura, untuk bapak pengakuan dan untuk para pengajar. Dia menekankan semua biarawan-biarawati untuk memberikan perhatian yang besar untuk kontemplasi, penitensa dan karya amal. Scalabrini selalu menunjukkan kesediaannya yang besar untuk menerima di diosesnya biarawan-biarawati dan membantu semua institusi yang baru lahir atau yang sudah ada di teritorialnya. Sebagai bukti ketertarikannya pada hidup biara yakni terlihat jelas ketika dia sendiri mau supaya misionaris-misionarisnya juga orang consacrati.

RASUL KATEKETIK

Scalabrini mendapat julukan “Rasul Untuk Katekese” oleh paus Pius ke-IX atas sumbangannya pada bidang ilmu katekese. Kita telah diingatkan tadi “Sebuah katekese untuk kanak-kanak”, diterbitkan pada tahun 1875 (Dianggap sebuah karya revolusioner dalam sejarah katekese di Italia), waktu dia masih menjabat sebagai pastor paroki di St. Bartolomeus di Como. Due tahun kemudian sumbangannya nampak jelas dalam karyanya yang berjudul “Katekese Katolik” (Sebuah karya yang materinya begitu terperinci dan organis) dan “Katekis Katolik”, sebuah majalah bulanan untuk katekese. Sebuah majalah yang pertama kali di terbitkan di Italia dan yang kedua di dunia. Dia juga membuka jurusan kateketik di Seminari.
Begitulah Scalabrini, seperti apa yang dikatakan oleh Paus Leone ke-XIII, menjadikan Piacenza “Sebuah kota untuk Katekese”, di mana pada tahun 1889 juga telah menjadi tempat terselenggaranya Kongres Pertama Katekese Nasional.
Sekolah Katekese menurut Scalabrini mempunyai peranan yang yang sangat penting karena hanya inilah instrumen yang efektif dalam menghadapi sebuah fenomena berkembangnya dekristinisasi dari masyarakat modern. Untuk itu dia tidak hanya membatasi dirinya pada penerbitan buku-buku, majalah dan mengorganisir kongres-kongres, lebih dari itu, dia membicarakan pula topik ini dalam 3 sinodo para uskup.
Tetapi mungkin sumbangannya yang paling besar yakni penataan kembali sekolah kateketik. Terinspirasi oleh karya pastoral St. Karolus Boromeus, Scalabrini menerapkan di semua paroki keuskupan Piacenza sebuah sekolah kateketik yang terperinci, efektif, terpikirkan dengan seksama supaya bisa menjangkau langsung di hati semua orang. Dalam programnya pengajaran kateketik dilakukan sebagai berikut; “Katekese Kecil” untuk kelas 1, “Komuni Pertama” untuk kelas 2, “Katekese besar dan ketegaran hati” untuk kelas 3, dan “Orang-orang Dewasa” untuk kelas 4. Dengan cara ini pendidikan kristen ditangani secara langsung oleh Gereja, dan tidak lagi secara melulu oleh keluarga atau oleh sekolah-sekolah sebagai mana berlaku sebelumnya.
Bahan-bahan katekese telah direvisi dan diaktualisasikan secara lengkap sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang selalu dalam proses evolusi. Sebuah masyarakat yang tidak lagi bernuansa kristen melainkan sebuah masyarakat yang cendrung pada dunia sekular. Dalam konteks ini, terima kasih untuk ilmu kateketik, "Iman mencari intelektualitas", yakni sebuah upaya untuk memenuhi tuntutan akal budi. Katekese bukan lagi hanya sebuah peluang untuk memberikan instruksi, tetapi juga sebuah ajang formasi dan pendidikan manusia dan kesadarannya.
Scalabrini sendiri mengajar tidak hanya waktu mengadakan kunjungan pastoral, tetapi juga di keuskupan yang mana dia membentuk sebuah sekolah kateketik untuk para siswa. Sudah sejak lama uskup Piacenza telah memiliki ide yang jelas dalam rencana ini tepatnya semenjak dia masih berada di Como. Pada tahun 1874 di Como dia diminta uskupnya untuk menjadi redaktur "Rencana Pembentukan Sekolah-sekolah Untuk Ajaran Kristen di Sebuah Dioses". Baru dua bulan dia berada di Piacenza, pada tanggal 23 April 1876, Scalabrini menulis surat gembala kepada para imam dan kepada semua umat seputar "Pengajaran Kateketik", dimana dia mengumumkan pembentukan kembali sebuah Perkumpulan Ajaran Kristen yang dulu didirikan di Piacenza pada tahun 1570 oleh Beato Paolo Burali, uskup Piacenza yang kemudian menjadi uskup agung Napoli dan dari situ dia diangkat menjadi seorang kardinal.
"Sekolah kateketik tidak hanya terbatas pada mengajar anak-anak tentang kebenaran iman - tulis Scalabrini di "Katekese Katolik" pada tahun 1877, tetapi mendidik anak-anak itu sendiri dalam iman; tidak hanya mengajar ajaran kristen pada anak-anak, melainkan mendidik anak-anak menurut ajaran kristen. Tidak hanya mengajar tetapi mendidik; tidak hanya menanam dan mengembangkan otak tetapi juga mengambengkan hati."

Katekese menjadi aktivitas yang lebih luas dan kompleks yang membutuhkan guru-guru yang telah dibina dan disiapkan secara matang. Dengan cara ini pengaruh sekuler akan dikurangi; ini nampak jelas dalam ajakan Scalabrini tidak hanya untuk para uskup dan para imam tetapi juga terlebih khusus untuk semua umat supaya memberikan komitmen yang besar dalam peredaran katekese katolik.
Atas usaha-usaha ini uskup Piacenza dianggap sebagai perintis gerakan kateketik. Gerakan yang baru dia mulai langsung mendapat proporsi tak terduga. Menurut penyelidikan Direksi Keuskupan Perkumpulan Ajaran Kristen, pada tahun 1877 guru-guru awam yang memberikan katekese berjumlah 1275 di 220 paroki, ditambah dengan 403 imam, 36 frater, dan 30 religius. Dalam kunjungan "ad limina" tahun 1879, Scalabrini begitu bangga dengan "Bala tentara nan rapih dari 4000 katekis". Dalam laporan tahunan yang dibuat pada tanggal 30 Juni 1880, dari 300 ribu umat dioses Piacenza, anak-anak yang dengan rajin mengikuti sekolah kateketik ada sekitar 34.430. Rata-rata satu katekis untuk tujuh anak.



Arsip Blog


Estimated number of international migrants worldwide

Percentage of the world's population who are migrants

Migrants would constitute the fifth most populous country in the world

Percentage of migrants worldwide who are women

Estimated remittances sent by migrants in 2009

Estimated remittances sent by migrants to developing countries in 2009

Internally displaced persons in the world in 2009

Estimated number of refugees in the world today

COME AND SEE

MENJADI MIGRAN DI ANTARA PARA MIGRAN - TO BE A MIGRAN AMONG THE MIGRANTS - DIVENTA MIGRANTE TRA I MIGRANTI

Bagi Para pembaca yang mau masuk Kongregasi Scalabrinian, dipersilakan untuk menghubungi kami di:
Misionaris Scalabrinian, Biara St. Karolus
Jalan Ulumbu, Kampung Maumere
86508 Ruteng, Flores NTT
Indonesia
Tel/Fax: (62) 385-21450


Misionaris Scalabrinian
Biara St. Karolus Borromeus
Jalan Kolombeke No.1
Kelurahan Nangalimang
Maumere, Flores NTT
Indonesia
HP: 081.339.463.524


For those who want to join the Scalabrinian Missionaries, please contact us:
41, 7th St., New Manila- 1112
Quezon City
Philippines
Tel: (02) 722 2651

Per chi vuole diventare Missionario Scalabriniano, contattaci a:
Via Casilina 634,
Roma
Italia
Tel: 062411405