Jumat, 11 Januari 2013

BHINEKA TUNGGAL IKA DAN KHARISMA SCALABRINIAN

Ansensius Guntur (Yance)



Kongregasi Scalabrinian didirikan pada tanggal 28 november 1887 di Piacenza (Italia Utara). Titik sentral misi kongregasi ini adalah pelayanan para migran di seluruh dunia. Kongregasi ini secara formal masuk di Indonesia pada tanggal 29 Juni 2002. Sebuah pertanyaan mendasar yang terbersit dalam benak para misionaris perintis tatkala kongregasi ini melebarkan sayapnya di bentara nusantara adalah: “Apa yang mesti dibuat supaya spiritualitas scalabrinian bisa menginspirasi para calon imam dan bagaimana aspek itu bisa diterapkan dalam konteks budaya yang plural?” Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis merasa penting mencoba memahami persepsi dan sikap orang Indonesia terhadap sebuah pluralitas budaya, bahasa, ras dan agama.

Indonesia dan Konteksnya yang Plural

Dalam rangka menjawab pertanyaan mendasar di atas, adalah pada tempatnya kalau penulis memulainya dengan melihat konteks Indonesia yang menjadi titik tuju karya misi Scalabrinian. Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup besar di Asia Tenggara. Predikat tersebut beralasan karena Indonesia memiliki 17.508  gugusan pulau, dengan jumlah penduduk sekitar 237.641.326 jiwa, (BPS, 2011). Ada 740 suku dan sekitar 583 bahasa daerah yang dipakai masyarakat Indonesia di wilayah-wilayah yang berbeda. Agama-agama besarpun berkembang secara meluas di Indonesia. Pemerintah memberi ruang kebebasan beragama bagi warganya walaupun masih ada pihak-pihak tertentu yang berusaha merong-rong  kebebasan tersebut. Sampai saat ini  ada enam agama yang diakui di negeri ini, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Kongfucu.

Berkaitan dengan konteks Indonesia yang majemuk dari segi suku, ras, bahasa dan agama, para peletak dasar bangsa ini telah memikirkan sebuah semboyan yang bisa mengayomi pluralitas tersebut. Semboyan itu adalah Bhineka Tunggal Ika. Secara historis semboyan ini digunakan pertama kali oleh Empu Tantular. Ia menggunakan motto ini dalam konteks hubungan antara agama Saiya Hindu dan agama Budha.  Kata bhineka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Jawa Kuno berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia. Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhineka Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna  meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan. Kita bisa bayangkan bahwa sudah sejak masa Mpu Tantular semangat menghargai keberbedaan sudah mulai dipraktekkan.

Bhineka Tunggal Ika, yang berbeda-beda tetapi tetap satu, mempunyai khasanah makna yang sangat mendalam. Pada prinsipnya semboyan ini merujuk pada satu makna sangat penting yaitu: toleransi. Tanpa toleransi sulit rasanya Indonesia bisa hidup hingga sekarang. Tanpa toleransi, mungkin setiap agama mendirikan negara sesuai dengan agamanya. Setiap suku mungkin akan mendirikan negara sesuai sukunya masing-masing. Pemilihan semboyan ini menggambarkan keinginan kuat dalam diri pendiri bangsa ini agar semua warga yang mendiami nusantara ini bisa hidup berdampingan sebagai saudara walaupun mereka berbeda.

Dalam konteks hidup bermasyarakat, semboyan di atas diejahwantakan dalam kehidupan gotong-royong dan pertemuan bersama yang disebut “musyawarah” untuk mufakat. Ini dilakukan karena pada kodratnya setiap manusia menginginkan keselarasan , kedamaian dan harmoni tanpa menghilangkan kekhasan sebagai pribadi.

Kharisma Scalabrinian

Setelah kita berbicara tentang konteks Indonesia, sekarang kita akan membahas bagaimana kharisma Scalabrinian. Pengenalan akan semangat dasar kongregasi ini memungkinkan kita untuk bisa memahami misinya. Bagi Kongregasi Scalabrinian, keterbukaan terhadap keanekaragaman budaya bukan hal yang asing lagi. Keterbukaan ini berangkat dari spiritualitas pendirinya Yohanes Battista Scalabrini. Beliau telah begitu sering mengajarkan sebuah spiritualitas “inkulturasi” atau “inkarnasi”, yang mana seorang imam diajak untuk mengikuti Kristus yang telah terinkarnasi dalam konteks sejarah dan sosial tertentu. Dalam hal ini, seorang imam diharapkan bisa masuk dalam budaya yang berbeda dan mengintegrasikan nilai-nilai injil dan ajaran kristen. Untuk itu sangatlah penting bagi seorang imam untuk mempunyai pengetahuan dan kualitas-kualitas seperti rasa hormat, keterbukaan dan kesediaan untuk belajar dan menerima perbedaan. P. Gino Dalpiaz, cs mengungkapkan hal ini dengan kata-kata indah, “Untuk mengerti budaya asing dan mengapresiasi fitur-fiturnya baik positif maupun negatif, nilai dasar yang perlu dikembangkan adalah kemampuan untuk menerima orang lain secara murni sebagai orang lain”.

Beato Yohanes Battista Scalabrini pernah berkata, Kita semua adalah para migran, kewarganegaraan kita bukan di bumi ini melainkan di sorga”. Kata-kata ini mengukirkan perjalanan manusia menuju hidup yang kekal. Ini adalah kebenaran yang sulit dan bahkan tidak bisa dipungkiri. Dalam setiap lubuk hati manusia terdapat bibit akan transendens. Ini juga telah menjadi dasar kehidupan keagamaan di Indonesia. Setiap orang Indonesia bebas untuk memeluk agama yang dikehendakinya. Dialog antaragama hanya mungkin bisa terlaksana dan terjaga karena berangkat dari nilai dasar ini. Kita semua berjalan menuju hidup abadi. Kenyataan ini telah membantu orang Indonesia untuk selalu menghormati penganut agama lain. Indonesia tak mempunyai agama nasionalis, hanya ada enam agama resmi yang dengan bebas bisa dianutinya. Keanekaragaman agama di Indonesia tidak akan menjadi sumber masalah kalau prinsip dasar kodrat manusia ini betul-betul dihayati oleh setiap warga negara Indonesia.

Setiap calon imam Scalabrinian dibina untuk bisa menghadapi dan menerima kemajemukan sebuah komunitas. Misi dasar scalabrinianlah yang menuntut seorang calon untuk terbuka pada sebuah pluralitas  dan berusaha menjadi jembatan untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada sehingga bisa menjadi kemasan yang indah. Karena itu, di rumah-rumah formasi scalabrinian para calon dilatih untuk hidup dengan calon-calon yang berasal dari negara dan latar belakang budaya yang berbeda.

Kesimpulan

Kita telah melihat bahwa keanekaragaman budaya, bahasa, suku dan agama telah menjadi realitas Negara Indonesia. Inilah kenyataan hidup sehari-hari. Meskipun ada pluralitas budaya, masyarakat Indonesia selalu berusaha untuk menerima dan menghormati orang lain dan bersama-sama membangun negara menuju arah yang lebih baik. Karena itu, kalau seorang calon Scalabrinian betul-betul mengenal dan menghidupkan  “Bhineka Tunggal Ika”, pasti dia juga bisa menginkarnasi dengan baik karisma Scalabrinian. 

8 komentar:

  1. nara, emi nia keta gambar one header dite? manik keta lelon e..

    BalasHapus
  2. foto ata kirim de teman olo enu. Itu waktu acara 100 tahun gereja katolik di manggarai.

    BalasHapus
  3. kae, idenya mantap sekali... saya setuju dengan kae punya ide untuk mengaitkan semboyan bangsa kita dengan kharisma kongregasi kita...itu secara idealis tidak ada salahnya...tapi perlu dipikirkan tentang suatu langkah konkret..apa yang bisa kita buat dalam kemajemukan dan keberagaman dalam bangsa kita...

    BalasHapus
  4. Makasih utk komentarnya ada. Konsep "Unity in diversity" bisa diterapkan di mana saja kita berada ase, termasuk di Indonesia. Kalau ade ada di seminari di Indonesia, pasti ade melihat bahwa setiap calon itu punya kepribadian masing-masing, berasal dari latar belakang yang berbeda, mungkin juga punya bahasa daerah yang berbeda. Kita mesti dilatih untuk menghormati perbedaan yang ada dan berusaha untuk bersatu mewujudkan cita-cita pendiri dan gereja. Soal misi untuk para migran (dalam konteks Indonesia TKI) itu nanti kemudian. Kalau kita sudah terlatih untuk menghormati dan hidup bersama dengan yang berbeda dengan kita, pasti nanti juga akan lebih mudah untuk melayani para migran yang notabene kebanyakan berbeda dengan kita. Salam kompak dari kota abadi Roma.

    BalasHapus
  5. Refleksi yang bagus e kraeng Yance...

    memang tak salah bahwa kemajemukan suatu bangsa ataupun golongan tertentu tampak dalam dua titik yang berbeda: tersirat dan tersurat.
    "Tersirat" dalam artian bahwa kemajemukan itu sendiri sebenarnya ada dalam diri kita sendiri baik sebagai perorangan maupun sebagai suatu kelompok masyaratak tertentu tetapi sepertinya terabaikan karena ada tendensi kita sebagai manusia untuk lebih mudah melihat keluar, mengarah para obyeh atauo orang lain ketimbang diri sendiri.
    "tersurat" dalam arttian bahwa hal itu memang sangat jelas akan adanya perbedaan yang ada tetapi bukan menjadi sesuatu utnuk dipersoalkan tetapi justru menjadi suatu kekayaan untuk saling melengakpi, seperti konsep/praktek memberi tak akan bisa dimengerti baik kalau tak dibarengi dengan menerima atau demikianpun sebaliknya.

    Dengan demikian, itu beraati bahwa pluralisme yang ada bukan hanya milik kita tetapi kita dituntut untuk menyadari bahwa kemajemukan itu merupakan kekayaan yang luar biasa dan kita semestinya hanya bisa berdecak kagum tatkala ada saling menghormati dan saling menghargai perbedaan yang ada.

    Bagaimanapun, "tampang" ke-Scalabrinian-an kalian tak akan pernah luntur ditelan waktu maupun dipatuk ular berbisa... sebab "berSATU kita TEGUH, bercerai kita runtuh".

    BHINNEKA TUNGGAL IKA (kalau tak salah, huruf "N" dalam kata Bhinneka ada 2).



    Terimakasih - MS (Argentina)

    BalasHapus
  6. Bro, ini komentar yang bagus. Profisiat! Salam kasih dari kota abadi Roma.

    BalasHapus
  7. thanks infonya bermanfaat sekali,....

    BalasHapus
  8. baik kalo artikelnya bermanfaat. Salam Bhineka Tunggal Ika!

    BalasHapus

Arsip Blog


Estimated number of international migrants worldwide

Percentage of the world's population who are migrants

Migrants would constitute the fifth most populous country in the world

Percentage of migrants worldwide who are women

Estimated remittances sent by migrants in 2009

Estimated remittances sent by migrants to developing countries in 2009

Internally displaced persons in the world in 2009

Estimated number of refugees in the world today

COME AND SEE

MENJADI MIGRAN DI ANTARA PARA MIGRAN - TO BE A MIGRAN AMONG THE MIGRANTS - DIVENTA MIGRANTE TRA I MIGRANTI

Bagi Para pembaca yang mau masuk Kongregasi Scalabrinian, dipersilakan untuk menghubungi kami di:
Misionaris Scalabrinian, Biara St. Karolus
Jalan Ulumbu, Kampung Maumere
86508 Ruteng, Flores NTT
Indonesia
Tel/Fax: (62) 385-21450


Misionaris Scalabrinian
Biara St. Karolus Borromeus
Jalan Kolombeke No.1
Kelurahan Nangalimang
Maumere, Flores NTT
Indonesia
HP: 081.339.463.524


For those who want to join the Scalabrinian Missionaries, please contact us:
41, 7th St., New Manila- 1112
Quezon City
Philippines
Tel: (02) 722 2651

Per chi vuole diventare Missionario Scalabriniano, contattaci a:
Via Casilina 634,
Roma
Italia
Tel: 062411405