Pada tahun
1880-an, Eropa mengalami tekanan besar. Banyak orang Eropa berpaling ke Amerika, suatu negeri terjanji yang baru. Orang-orang Katolik, Lutheran,
Anglikan,, Yahudi, Inggris, Italia, Perancis, Irlandia, Skotlandia: semuanya
membawa asal-usul kebangsaan dan agama mereka mennuju tanah terjanji seperti
jas hangat. Semua berarak menuju laut, menuju tanah terjanji di mana matahari,
lahan dan persediaan akan tersedia dalam kelimpahan, atau setidaknya begitulah
keyakinan mereka. Hidup akan memelihara janji-janjinya di sana. Di sana akan
tersedia berbagai macam kebaikan, atau setidak-tidaknya kesempatan. Semuanya
bergerak di bawah tekanan hebat dari sejarah: ledakan penduduk di benua
melemparkan mereka ke benua seberang seperti boneka.
“Mereka
berangkat, jiwa-jiwa malang,” tulis uskup Yohanes Baptis Scalabrini, pendiri
kongregasi Scalabrinian. Bukan tanpa air mata … meninggalkan begitu banyak
kenangan bukan hal mudah. Akan tetapi, mereka siap pergi tanpa sesal karena
mereka mengenal hanya dua aspek di negeri mereka: kewajiban militer dan pajak.
Siapa tahu, betapa timbunan kemalangan dan kekurangan membuat langkah yang
begitu menyakitkan tampaknya perlu bagi mereka…berapa banyak kekecewaan dan
penderitaan baru yang telah disiapkan untuk mereka? Berapa banyak yang akan
tampil jaya dalam perjuangan eksistensi? Anda datang dengan mata gelap, suara
berirama, keinginan yang khas ke sebuah negri yang sudah memiliki irama
sendiri?
Seabad
kemudian, para sosiolog menulis bahwa arus migrasi besar-besaran abad 18
ternyata hanya berpindah dari satu penderitaan ke penderitaan lain. Lolos dari
harimau, diadang buaya. Tetapi, migrasi akan tetap ada, seolah menjadi sebuah
fenomena alam. Begitulah keyakinan Scalabrini. Setelah dua abad berlalu,
keyakinan Scalabrini tetap terbukti. Bayangkanlah, berapa banyak orang yang
tinggal di daerah yang bukan tempat kelahirannya.
Lebih
dari 6,5 juta orang menjadi migrant di 142 negara di dunia. Itu baru angka. Namun, angka itu ditaruh didepan
orang-orang yang memiliki nama, perasaan, asal-usul kebangsaan, agama dan
keluarga. Angka-angka itu diberikan kepada pribadi-pribadi yang memiliki
cita-cita sesederhana apa pun itu. Angka-angka itu dilabelkan kepada suami dari
seorang isteri, ayah dari 2, 3, 4, 5 anak? Saat kita mendengar berita tentang
saudara kita yang mengalami eksploitasi di negeri asing, tentu hati kita akan
tergugah. Pernahkah kita menempatkan diri kita pada posisinya, merasakan
kepedihan, kekecewaan, air mata, keringat dan darahnya? Atau pernahkah kita
menjadi isteri, suami, anak, paman, keponakan, cucu atau kakek dari saudara
kita itu?
Banyak
saudara kita dari Manggarai nekad ke Malaysia demi hidup yang lebih baik dari
kehidupan mereka di Manggarai. Sulit menemukan mereka pada data resmi. Mereka
adalah hantu. Mereka tidak ada. Seolah-olah. Mereka berani mengarungi lautan,
penuh optimisme akan masa depan yang cerah melompati pagar batas negara, menuju
tanah yang penuh susu dan madu. Mereka merajut asa di negeri tetangga kita, Malaysia,
tanpa dokumen resmi. Yang menanti mereka bukan susu dan madu, tetapi onak dan
duri. Mereka diperlakukan seperti pencuri. Perjuangan mencari sesuap nasi
menjadi perjuangan mempertahankan eksistensi. Jauh lebih keras daripada
perjuangan di Manggarai. Kisah-kisah seperti itu sudah memenuhi udara
manggarai, tetapi kisah-kisah itu seperti angin lewat. Mengapa? Karena
cerita-cerita itu lebih banyak merupakan pengisi waktu ibu-ibu yang sedang
mencari kutu atau bahan cerita arisan. Padahal, cerita-cerita itu sungguh
nyata.
GAWAS mencoba
mengangkat kisah-kisah itu ke permukaan agar banyak orang sadar bahwa
kisah-kisah itu sungguh ada dan mengajarkan sesuatu kepada mereka. Ini adalah
sebuah kronik, sebuah potongan dari rangkaian kisah tentang migrant asal manggarai.
Judulnya mungkin cukup heboh: KISAH DARI SEBERANG. 15 kisah nyata adalah isi
utama buku sederhana ini.
Buku ini berisi kisah
nyata. Para penulis buku ini lebih tepatnya disebut ‘pencerita kembali’.
Sumbernya adalah mantan TKI dan isteri TKI. Buku ini dijual Rp. 50.
000/eksemplar. Hasil penjualan buku ini akan digunakan untuk mendanai program
kerja GAWAS selanjutnya dalam usaha membantu migran dan keluarga yang mereka tinggalkan. Dukungan bapak/ibu
sekalian sebagai sesama dan saudara akan sangat kami hargai dan merupakan
bentuk nyata dukungan kita terhadap saudara-saudara kita yang kurang beruntung.
Semoga suara para migrant yang terluka semakin kuat gemanya karena semakin
banyak orang yang teriakkan ke segala penjuru. Satu pertanyaan yang boleh kita
teriakkan untuk kita sendiri: maukah kita? Atau seperti anak kecil pada tengah
malam, biarlah GAWAS merengek; papa…susu!!Diposkan oleh Albertus Danggur
Senin, 25 Agustus 2014