Ansensius Guntur
Setelah Misa tanggal 4 November 2006 |
Komuni Pertama dari Paus Benediktus ke-XVI |
Tanggal 11 Februari yang lalu
Paus Benediktus ke-XVI telah membuat dunia “shock” dengan berita pengunduran
dirinya dari Tahta Suci Santo Petrus. Pengunduran diri ini diumumkannya tepat di Hari Orang Sakit Sedunia. Dengan
kebebasan penuh beliau mengundurkan diri karena alasan usianya yang sudah tua
dan kesehatannya yang semakin hari semakin menurun. Dia merasa tak lagi
mempunyai kekuatan yang cukup untuk mengembani tugas yang berat dalam melayani
umat Allah.
Berita macam begini tentunya tak mudah dipercaya. Hari itu aku sempat ke
rumah konfraterku. Dengan muka suram konfraterku menyampaikan berita itu.
Tentunya aku tak langsung percaya karena tak ada dalam bayangan saya kalau Paus
Benediktus ke-XVI bisa mengambil keputusan seradikal itu. Benar apa yang
dikatakan oleh Kardinal Angelo Sudano setelah Bapa Paus membacakan surat
pengunduran dirinya, “Berita ini bagaikan kilat di langit yang tenang”.
Beliau pernah menulis dalam bukunya bahwa seorang Paus bisa mengundurkan
dirinya kalau memang kesehatannya tak memungkinkannyaa lagi untuk mengembani
segala tugas yang dilimpahkan ke pundaknya. Hukum Kanonik Gereja Katolik juga
menganggap sah pengunduran diri seorang paus dari jabatannya kalau memang
beliau mempunyai alasan yang kuat.
Dia bukanlah orang yang pertama yang mengundurkan diri. Ada beberapa paus
yang juga telah mengundurkan diri dengan alasannya masing-masing. Paus
Celestinus ke-V pada tanggal 13 Desember 1294 juga dengan kebebasan penuh
mengundurkan diri dari tahta suci. Sebelum menjadi Paus, Celestinus adalah
seorang rahib yang menghabiskan waktunya untuk berdoa. Percaturan kekuasan
membuatnya terganggu. Karena itu, beliau memilih untuk kembali ke pertapaan dan
menghabiskan waktunya untuk berdoa daripada ternoda oleh permainan kekuasaan
yang begitu marak pada zamannya.
Tentunya tak ada tanda-tanda perebutan kekuasan yang membuat Benediktus
mengundurkan diri. Alasan kesehatan yang semakin merosotlah yang mendorong
beliau untuk melepaskan tahtanya. Dia merasa tiba saatnya untuk memberikan
tahta suci pada orang lain yang notabene mempunyai kesehatan yang kuat untuk
menanggung segala tanggung jawab kepausan. Walau berita itu tak mudah kucerna,
dalam iman aku tahu Tuhan pasti akan memberikan seorang gembala baru bagi
gereja.
Aku sempat bertanya, apakah yang akan kuingat dari Bapa Paus Benediktus
ke-XVI? Sudah merupakan suatu kenyataan bahwa beliau telah melakukan banyak
perbuatan baik untuk gereja. Dia telah membimbing gereja dengan setia. Dia juga
telah menjadi bagian dari sejarah hidupku. Beberapa peristiwa penting
bersamanya dan kata-katanya telah melekat erat dalam diriku. Dari banyak hal,
beberapa peristiwa di bawah ini sempat meninggalkan kesan khusus untukku.
Perjumpaan Pertama tanggal 4
November 2006
Aku lahir di Goloworok, sebuah kampung kecil di sebelah barat pulau Flores,
Indonesia. Lebih dari 90% penduduknya beragama katolik. Setiap hari minggu
semua berbondong-bondong ke gereja untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Bagi
kami Bapa Paus adalah figur yang penting dalam gereja. Dia mempunyai tugas
berat untuk menggembalakan umatnya di seluruh dunia. Yang jelas semua umat di Goloworok
mau untuk melihat langsung seorang Paus. Belum satupun dari mereka yang
melihatnya secara langsung.
Karunia yang begitu besar!!! Mungkin kata-kata ini bisa melukis segala
peristiwa yang ada dalam hidupku. Tepatnya tanggal 4 November 2006 aku sempat
diminta untuk melayani Bapa Paus dalam perayaan Ekaristi di Vatikan. Aku dan
Agustin baru saja 3 bulan di Italia. Dalam kalender liturgi gereja katolik,
setiap tanggal 4 November gereja memperingati pesta Santo Karolus Borromeus.
Pendiri kami Beato Yohanes Battista Scalabrini telah menjadikannya Santo
Pelindung kongregasi kami. Betapa luar biasa! Aku berjumpa dengan Bapa Paus di
hari yang penting bagi kongregasi kami.
Yang masih segar dalam ingatan saya yakni kewalahan kami untuk
berkomunikasi dengannya. Maklum kami masih belum fasih berbahasa Italia dan
juga kami terhanyut dalam kegembiraan yang luar biasa sampai-sampai
kata-katapun sulit untuk diucapkan. “Sì, Papa”. Hanya itu saja yang dapat
kuucapkan waktu aku berjabatan tangan dengannya. Diapun memberikan aku dan
konfraterku yang lain sebuah rosario. Senyumnya saat itu menyejukkan hati. Meskipun
tak berkata banyak, tatapan mata dan jabatan tangan sudah merupakan sesuatu
yang luar biasa.
Karena Cinta untuk Gereja
Bapa Paus mengundurkan diri karena cintanya akan gereja. Dia menyadari
bahwa zaman ini membutuhkan seorang paus yang mempunyai kesehatan yang kuat
untuk menjalankan semua tanggung jawab kepausan. Dia tak akan meninggalkan
gereja. Dia berjanji untuk tetap berdoa untuk gereja. “Di hari yang akan
datang, aku akan tetap melayani dengan sepenuh hati, mendedikasikan hidupku
untuk berdoa bagi Gereja Kudus Allah”, katanya saat mengakhiri pesan
pengunduran dirinya tanggal 11 Februari lalu.
Sekali lagi ia menegaskan kalau pengunduran dirinya merupakan wujud
cintanya yang paling besar untuk gereja pada saat udiensa terakhirnya hari ini
tanggal 27 Februari 2013. Di hadapan ratusan ribu umat katolik yang datang dari
seluruh dunia, dia berkata, “Dalam beberapa bulan terakhir, aku merasa kekuatan
saya semakin menurun, dan aku selalu memohon kepada Allah dalam doa untuk
menerangi saya dengan sinarnya supaya saya bisa mengambil keputusan yang benar,
bukan untuk kebaikan saya sendiri, tetapi untuk kebaikan gereja. Aku mengambil
langkah ini dengan ketenangan batin meskipun aku sadar ini merupakan sesuatu
yang berat dan baru. Mencintai gereja berarti juga mempunyai keberanian untuk
mengambil keputusan yang sulit dan sarat dengan penderitaan, menempatkan selalu
terlebih dahulu kebaikan gereja, bukan kebaikannya sendiri.”
Pengunduran diri Bapa Paus adalah
sebuah contoh kerendahan hati yang paling besar. Bayangkan saja! Beliau adalah
seorang pemikir yang terkenal. Dia adalah seorang teolog yang paling dikagumi.
Dia telah menulis banyak buku. Dalam segalanya itu, dia bukannya mencongkakkan
diri. Di kala dia merasa tak mampu lagi, dia dengan ketenangan hati menyerahkan
tanggung jawab gereja pada yang lain dan mempercayakan gerejanya pada pimpinan
Tuhan Yesus Kristus. Benediktus ke-XVI adalah seorang Kristen yang sejati
karena selalu menempatkan kebaikan gereja Kristus terlebih dahulu sebelum
kebaikannya sendiri. Dia betul-betul seperti Kristus yang telah rela menjadi
manusia untuk menyelamatkan umat manusia.
Kepedulian untuk para migran
Sebagai seorang Scalabrinian,
merupakan kebahagiaan yang besar bagi saya setiap kali mendengar Sri Paus berbicara
seputar para migran. Paus ini
mempunyai cinta dan perhatian yang besar untuk para migran. Dalam anjelus
Minggu 13 Januari tahun ini, dalam memperingati hari Para Migran dan Pengungsi
sedunia, beliau membandingkan fenomena migrasi dengan sebuah “ziarah iman dan
harapan”. Dalam pesannya dia berkata, “Siapa saja yang meninggalkan tanah
kelahirannya, itu tidak hanya karena ia mengharapkan masa depan yang lebih
baik, tetapi juga melakukannya karena ia percaya pada Tuhan yang menuntun
setiap langkah manusia, seperti yang terjadi pada Abraham. Beginilah peran para
migran sebagai pembawa iman dan harapan di dunia.”
Ada sekitar 200
juta para migran di dunia. Mereka meninggalkan tanah air mereka untuk melarikan
diri dari perang, penindasan dan kemiskinan, bencana alam atau bahkan hanya
untuk mengejar harapan akan kehidupan yang lebih baik. Sri Paus sangat mengerti
dengan kenyataan ini dan telah menghimbau semua umat Katolik untuk menghormati
hak-hak dan martabat para migran. Umat Katolik harus menerima dan menunjukkan
solidaritas kepada semua para migran. Menurut dia solidaritas adalah salah satu
nilai dasar Kristen karena kalau mereka menerima para migran dan pengungsi
berarti mereka menerima Yesus yang dulunya juga pernah menjadi pengungsi di
Mesir.
Dalam pesan terakhirnya untuk para migran bulan Oktober lalu, beliau
menghimbau semua pemerintah untuk menjaga hak dan kebaikan para migran. “Setiap
negara punya hak untuk mengatur arus migrasi dan menerapkan sebuah politik
migrasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kebaikan bersama. Ini mestinya harus
disertai rasa hormat untuk martabat setiap manusia. Hak untuk manusia untuk
beremigrasi sudah tertulis dalam Hak Asasi Manusia, dengan kemampuannya
masing-masing untuk menetap di tempat di mana dia percaya memberikan ruang yang
besar baginya untuk mewujudkan semua kapasitas dan aspirasi dan segala
rencananya”, kata Sri Paus Benediktus ke-XVI.
Kepeduliannya untuk para migran telah memberikan peneguhan bagiku sebagai
seorang calon imam scalabrinian yang bercita-cita untuk mendedikasikan diri
saya dalam melayani para migran di seluruh dunia.
Terima kasih Bapa Paus Benediktus ke-XVI. Engkau telah memberikan kami
contoh yang baik bagaimana sebenarnya hidup seorang Kristen. Semoga kami juga
mempunyai cinta yang berkobar-kobar untuk gereja dan tetap setiap pada misi
kami untuk membuka hati bagi semua para migran yang mengetuk pintu hati kami.
Foto bersama Bapa Paus Benediktus ke-XVI saat kongress internasional untuk para pelaut (nov. 2012) |
Udiensa Terakhir Paus Benediktus ke-XVI (27 Februari 2013) |
Bruder Yance yg terkasih,
BalasHapusSy berterimakasih atas buat blogspoit ini! Sy suka sekali.
Selamat dan profisiat bruder atas tabisan Imamatmu! Dari komunitas di Cebu Filipina.
P. Nacho,CS