Ansensius Guntur (Yance)
Kongregasi Scalabrinian didirikan
pada tanggal 28 november 1887 di Piacenza (Italia Utara). Titik sentral misi
kongregasi ini adalah pelayanan para migran di seluruh dunia. Kongregasi ini
secara formal masuk di Indonesia pada tanggal 29 Juni 2002. Sebuah pertanyaan
mendasar yang terbersit dalam benak para misionaris perintis tatkala kongregasi
ini melebarkan sayapnya di bentara nusantara adalah: “Apa yang mesti dibuat
supaya spiritualitas scalabrinian bisa menginspirasi para calon imam dan
bagaimana aspek itu bisa diterapkan dalam konteks budaya yang plural?” Untuk
menjawab pertanyaan ini, penulis merasa penting mencoba memahami persepsi dan
sikap orang Indonesia terhadap sebuah pluralitas budaya, bahasa, ras dan agama.
Indonesia dan
Konteksnya yang Plural
Dalam rangka menjawab pertanyaan mendasar di atas, adalah
pada tempatnya kalau penulis memulainya dengan melihat konteks Indonesia yang
menjadi titik tuju karya misi Scalabrinian. Indonesia merupakan salah satu
negara yang cukup besar di Asia Tenggara. Predikat tersebut beralasan karena
Indonesia memiliki 17.508 gugusan pulau,
dengan jumlah penduduk sekitar 237.641.326 jiwa, (BPS, 2011). Ada 740 suku dan
sekitar 583 bahasa daerah yang dipakai masyarakat Indonesia di wilayah-wilayah
yang berbeda. Agama-agama besarpun berkembang secara meluas di Indonesia.
Pemerintah memberi ruang kebebasan beragama bagi warganya walaupun masih ada
pihak-pihak tertentu yang berusaha merong-rong
kebebasan tersebut. Sampai saat ini
ada enam agama yang diakui di negeri ini, yaitu Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, Budha, dan Kongfucu.
Berkaitan dengan konteks Indonesia yang majemuk dari segi
suku, ras, bahasa dan agama, para peletak dasar bangsa ini telah memikirkan
sebuah semboyan yang bisa mengayomi pluralitas tersebut. Semboyan itu adalah
Bhineka Tunggal Ika. Secara historis semboyan ini digunakan pertama kali oleh
Empu Tantular. Ia menggunakan motto ini dalam konteks hubungan antara
agama Saiya Hindu dan agama Budha. Kata
bhineka berarti “beraneka ragam” atau berbeda-beda. Kata neka dalam bahasa Jawa
Kuno berarti “macam” dan menjadi pembentuk kata “aneka” dalam Bahasa Indonesia.
Kata tunggal berarti “satu”. Kata ika berarti “itu”. Secara harfiah Bhineka
Tunggal Ika diterjemahkan “Beraneka Satu Itu”, yang bermakna meskipun berbeda-beda tetapi pada hakikatnya
bangsa Indonesia tetap adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan untuk
menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku
bangsa, agama dan kepercayaan. Kita bisa bayangkan bahwa sudah sejak masa Mpu
Tantular semangat menghargai keberbedaan sudah mulai dipraktekkan.
Bhineka Tunggal Ika, yang
berbeda-beda tetapi tetap satu, mempunyai khasanah makna yang sangat mendalam.
Pada prinsipnya semboyan ini merujuk pada satu makna sangat penting yaitu:
toleransi. Tanpa toleransi sulit rasanya Indonesia bisa hidup hingga sekarang.
Tanpa toleransi, mungkin setiap agama mendirikan negara sesuai dengan agamanya.
Setiap suku mungkin akan mendirikan negara sesuai sukunya masing-masing.
Pemilihan semboyan ini menggambarkan keinginan kuat dalam diri pendiri bangsa
ini agar semua warga yang mendiami nusantara ini bisa hidup berdampingan
sebagai saudara walaupun mereka berbeda.
Dalam konteks hidup
bermasyarakat, semboyan di atas diejahwantakan dalam kehidupan gotong-royong
dan pertemuan bersama yang disebut “musyawarah” untuk mufakat. Ini dilakukan
karena pada kodratnya setiap manusia menginginkan keselarasan , kedamaian dan
harmoni tanpa menghilangkan kekhasan sebagai pribadi.
Kharisma Scalabrinian
Setelah
kita berbicara tentang konteks Indonesia, sekarang kita akan membahas bagaimana
kharisma Scalabrinian. Pengenalan akan semangat dasar kongregasi ini
memungkinkan kita untuk bisa memahami misinya. Bagi Kongregasi Scalabrinian, keterbukaan terhadap
keanekaragaman budaya bukan hal yang asing lagi. Keterbukaan ini berangkat dari
spiritualitas pendirinya Yohanes Battista Scalabrini. Beliau telah begitu
sering mengajarkan sebuah spiritualitas “inkulturasi” atau “inkarnasi”, yang
mana seorang imam diajak untuk mengikuti Kristus yang telah terinkarnasi dalam
konteks sejarah dan sosial tertentu. Dalam hal ini, seorang imam diharapkan
bisa masuk dalam budaya yang berbeda dan mengintegrasikan nilai-nilai injil dan
ajaran kristen. Untuk itu sangatlah penting bagi seorang imam untuk mempunyai
pengetahuan dan kualitas-kualitas seperti rasa hormat, keterbukaan dan
kesediaan untuk belajar dan menerima perbedaan. P. Gino Dalpiaz, cs
mengungkapkan hal ini dengan kata-kata indah, “Untuk mengerti budaya asing dan
mengapresiasi fitur-fiturnya baik positif maupun negatif, nilai dasar yang
perlu dikembangkan adalah kemampuan untuk menerima orang lain secara murni
sebagai orang lain”.
Beato
Yohanes Battista Scalabrini pernah berkata, Kita semua adalah para migran,
kewarganegaraan kita bukan di bumi ini melainkan di sorga”. Kata-kata ini
mengukirkan perjalanan manusia menuju hidup yang kekal. Ini adalah kebenaran
yang sulit dan bahkan tidak bisa dipungkiri. Dalam setiap lubuk hati manusia
terdapat bibit akan transendens. Ini juga telah menjadi dasar kehidupan
keagamaan di Indonesia. Setiap orang Indonesia bebas untuk memeluk agama yang
dikehendakinya. Dialog antaragama hanya mungkin bisa terlaksana dan terjaga
karena berangkat dari nilai dasar ini. Kita semua berjalan menuju hidup abadi.
Kenyataan ini telah membantu orang Indonesia untuk selalu menghormati penganut
agama lain. Indonesia tak mempunyai agama nasionalis, hanya ada enam agama
resmi yang dengan bebas bisa dianutinya. Keanekaragaman agama di Indonesia
tidak akan menjadi sumber masalah kalau prinsip dasar kodrat manusia ini
betul-betul dihayati oleh setiap warga negara Indonesia.
Setiap
calon imam Scalabrinian dibina untuk bisa menghadapi dan menerima kemajemukan
sebuah komunitas. Misi dasar scalabrinianlah yang menuntut seorang calon untuk
terbuka pada sebuah pluralitas dan
berusaha menjadi jembatan untuk mempersatukan perbedaan-perbedaan yang ada
sehingga bisa menjadi kemasan yang indah. Karena itu, di rumah-rumah formasi
scalabrinian para calon dilatih untuk hidup dengan calon-calon yang berasal
dari negara dan latar belakang budaya yang berbeda.
Kesimpulan
Kita telah melihat bahwa
keanekaragaman budaya, bahasa, suku dan agama telah menjadi realitas Negara
Indonesia. Inilah kenyataan hidup sehari-hari. Meskipun ada pluralitas budaya,
masyarakat Indonesia selalu berusaha untuk menerima dan menghormati orang lain
dan bersama-sama membangun negara menuju arah yang lebih baik. Karena itu,
kalau seorang calon Scalabrinian betul-betul mengenal dan menghidupkan “Bhineka Tunggal Ika”, pasti dia juga bisa
menginkarnasi dengan baik karisma Scalabrinian.
nara, emi nia keta gambar one header dite? manik keta lelon e..
BalasHapusfoto ata kirim de teman olo enu. Itu waktu acara 100 tahun gereja katolik di manggarai.
BalasHapuskae, idenya mantap sekali... saya setuju dengan kae punya ide untuk mengaitkan semboyan bangsa kita dengan kharisma kongregasi kita...itu secara idealis tidak ada salahnya...tapi perlu dipikirkan tentang suatu langkah konkret..apa yang bisa kita buat dalam kemajemukan dan keberagaman dalam bangsa kita...
BalasHapusMakasih utk komentarnya ada. Konsep "Unity in diversity" bisa diterapkan di mana saja kita berada ase, termasuk di Indonesia. Kalau ade ada di seminari di Indonesia, pasti ade melihat bahwa setiap calon itu punya kepribadian masing-masing, berasal dari latar belakang yang berbeda, mungkin juga punya bahasa daerah yang berbeda. Kita mesti dilatih untuk menghormati perbedaan yang ada dan berusaha untuk bersatu mewujudkan cita-cita pendiri dan gereja. Soal misi untuk para migran (dalam konteks Indonesia TKI) itu nanti kemudian. Kalau kita sudah terlatih untuk menghormati dan hidup bersama dengan yang berbeda dengan kita, pasti nanti juga akan lebih mudah untuk melayani para migran yang notabene kebanyakan berbeda dengan kita. Salam kompak dari kota abadi Roma.
BalasHapusRefleksi yang bagus e kraeng Yance...
BalasHapusmemang tak salah bahwa kemajemukan suatu bangsa ataupun golongan tertentu tampak dalam dua titik yang berbeda: tersirat dan tersurat.
"Tersirat" dalam artian bahwa kemajemukan itu sendiri sebenarnya ada dalam diri kita sendiri baik sebagai perorangan maupun sebagai suatu kelompok masyaratak tertentu tetapi sepertinya terabaikan karena ada tendensi kita sebagai manusia untuk lebih mudah melihat keluar, mengarah para obyeh atauo orang lain ketimbang diri sendiri.
"tersurat" dalam arttian bahwa hal itu memang sangat jelas akan adanya perbedaan yang ada tetapi bukan menjadi sesuatu utnuk dipersoalkan tetapi justru menjadi suatu kekayaan untuk saling melengakpi, seperti konsep/praktek memberi tak akan bisa dimengerti baik kalau tak dibarengi dengan menerima atau demikianpun sebaliknya.
Dengan demikian, itu beraati bahwa pluralisme yang ada bukan hanya milik kita tetapi kita dituntut untuk menyadari bahwa kemajemukan itu merupakan kekayaan yang luar biasa dan kita semestinya hanya bisa berdecak kagum tatkala ada saling menghormati dan saling menghargai perbedaan yang ada.
Bagaimanapun, "tampang" ke-Scalabrinian-an kalian tak akan pernah luntur ditelan waktu maupun dipatuk ular berbisa... sebab "berSATU kita TEGUH, bercerai kita runtuh".
BHINNEKA TUNGGAL IKA (kalau tak salah, huruf "N" dalam kata Bhinneka ada 2).
Terimakasih - MS (Argentina)
Bro, ini komentar yang bagus. Profisiat! Salam kasih dari kota abadi Roma.
BalasHapusthanks infonya bermanfaat sekali,....
BalasHapusbaik kalo artikelnya bermanfaat. Salam Bhineka Tunggal Ika!
BalasHapus