BAB I
TAHUN-TAHUN AWAL
1.1 John Baptist Scalabrini dan Masa Kecilnya di Fino Mornasco
Fino Mornasco pada abad ke-19 merupakan daerah yang masih berselimutkan kemurnian asali Sang Pencipta. Keindahan alamnya masih memancarkan karya Sang Khalik. Pada malam hari, ketika pandangan terarah pada bentangan langit, mata setiap orang akan penuh dengan bintang-bintang yang bertebaran. Pada siang hari, ketika sang mentari menyingkapkan tabir dunia, mata setiap orang akan terpana dan takjub melihat hijaunya dedaunan yang melambai diterpa angin, buah apel yang ranum bergantung pada rantingnya, kulit-kulit jeruk yang bertebaran di tanah, dan sebagainya. Semua orang mencium beraneka ragam aroma yang asli. Semua keaslian itu diperkuat dengan keaslian dan kemurnian penduduknya. Orang-orang masih percaya pada waktu sebagai kompas kehidupan. Ada waktu untuk mengupas apel dan memeras anggur; ada waktu untuk menanam dan memanen; dan segala kegiatan lainnya. Semuanya ada dalam waktu dan setiap orang mengenalnya dengan baik. Semuanya itu melukiskan kembali kemurnian asali.
Kota kecil yang terletak di luar Como, Italia bagian utara ini merupakan tempat lahirnya seorang yang kudus dan model bagi Gereja umat Allah. Dialah John Baptist Scalabrini yang lahir pada tanggal 8 Juli 1839. John Baptist Scalabrini merupakan anak ke-3 dari delapan bersaudara (lima laki-laki dan tiga perempuan). Ayahnya bernama Luigi Scalabrini dan ibunya bernama Colomba Trombetta. Di antara kedua orang tuanya, ayahnya hidup lebih lama dan masih sempat menyaksikan tabhisan John Baptist Scalabrini sebagai Uskup Piacenza. Ibunya meninggal dunia pada tanggal 4 Mei 1865.
Keluarga tempat John Baptis Scalabrini dibesarkan pada masa kecil merupakan keluarga yang saleh, walaupun dikemudian hari ada dua saudaranya ( Peter Scalabrini yang beremigrasi ke Argentina dan Angelo Scalabrini di Italia) yang menyimpang dari ajaran gereja. Kedua saudara Scalabrini ini pada dasarnya tidak meninggalkan iman mereka. Mereka hanya tidak melakukan kewajiban agama katolik. Walaupun demikian, keputusan kedua saudara John Baptist Scalabrini tidak memudarkan kesalehan keluarganya terutama kedua orang tuanya.
Orang tua John Baptist Scalabrini selalu menanamkan nilai-nilai kristiani kepada kedelapan anaknya. Ayah Scalabrini merupakan seorang yang tegas dalam menerapkan pendidikan Kristiani bagi anak-anaknya. Demikian pula ibunya. Di daerahnya, Colomba Trombetta, ibu John Baptist Scalabrini memiliki reputasi yang baik mengenai iman kepada Allah. Menurut informasi yang dikumpulkan oleh Msgr. Giuseppe Cattaneo, pastor di Fino Mornasco tahun 1902: “Ibu John Baptist Scalabrini merupakan seorang yang bijaksana, memiliki karakter yang kuat, seorang Kristen sejati, dan orang kudus yang takut akan Allah.” Kekudusan ibunya pun diakui uskup Scalabrini pada peringatan 36 tahun kematian ibunya ( 4 mei 1901): “Hari ini hatiku dipenuhi kesedihan. Hari ini genap 36 tahun kematian ibuku yang kudus.” Kekudusan dan kesalehan keluarganya tersirat jelas dalam kepribadian dan karya John Baptist Scalabrini.
Kesalehan keluarga Scalabrini tidak terlepas dari kenyataan di mana pada waktu itu Fino Mornasco merupakan daerah yang diwarnai oleh agama dan oleh pertentangan-pertentangan karena agama. Pada saat itu juga, gosip mengenai orang-orang kudus bukanlah hal yang tidak biasa di wilayah itu. Setiap orang berharap agar diantara mereka ada yang akan menjadi orang kudus. Selain itu, wilayah ini juga merupakan tempat yang kaya untuk menghasilkan imam-imam. Mereka bermekaran seperti bunga-bunga, seperti buah pohon-pohon zaitun. Orang-orang terus berharap dan mengawasi agar di antara mereka jika bukan menjadi orang kudus, maka menjadi imam.
Rumah John Baptist Scalabrini merupakan rumah pedesaan yang biasa. Rumah itu terletak di kaki bukit. Dari jendela lantai dua rumah itu, seorang anak dapat dengan mudah melihat menara gereja di puncak sebuah bukit yang letaknya lebih tinggi. Menara Gereja itu tampak putih berkilauan dan menjulang tinggi. John Baptist Scalabrini dapat mendengar lonceng berdentang setiap jam. Lonceng itu mengiringi langkah para pekerja yang berjalan kaki menuju kebun-kebun jagung yang hijau untuk memetik jagung; menuju pohon-pohon besar yang rindang untuk mengumpulkan daun-daun guna memberi makan ulat sutera. Sebagai seorang anak kecil, John Baptist Scalabrini dapat mendengar suara merdu lonceng tersebut. Semua keindahan itu dialami Scalabrini dalam rumahnya yang biasa namun bermakna.
Masa kecil John Baptist Scalabrini merupakan masa-masa indah bersama keluarga, masyarakat, dan alam Fino Mornasco tempat ia dibesarkan. Indahnya pemandangan Fino Mornasco dengan pohon-pohonnya yang hijau berseri turut memberikan makna tersendiri bagi John Baptist Scalabrini. Alam itu selalu menuntutnya untuk selalu mengagumi kebesaran Sang Penciptanya. Selain itu, kepolosan dan kesahajaan orang-orang di sekitarnya turut membimbing John Baptist Scalabrini pada kedekatannya dengan Tuhan. Scalabrini melihat kekudusan dalam hidup yang dijalani oleh orang-orang di sekelilingnya. Ia melihat dan menumbuhkan dalam dirinya kesucian, kemuliaan, dan nilai yang diwariskan dari para petani yang membungkuk di bawah panas terik sang mentari, yang merawat tanaman anggur mereka, dan yang mengulurkan tangan mereka dengan sabar untuk memetik buah-buah yang dihasilkan. Scalabrini menemukan dan membentuk dirinya dalam partisipasinya bersama dengan yang lain di sekitarnya.
Scalabrini kecil menjalani hari-harinya bersama keluarga yang membesarkan dan membentuknya. Ia tinggal bersama orang tua yang sangat menekankan nilai-nilai religius. Dia juga banyak belajar tentang iman dan kekudusan dari hal-hal sederhana yang dilakukan orang tuanya terutama ibunya. John Baptist Scalabrini menemukan kekudusan dari ketekunan dan kesahajaan ibunya. Ia memperhatikan ibunya yang hanya berpakaian sederhana, melihat pancaran cahaya yang jernih dari matanya sementara melayani ayahnya, dia, dan saudara saudarinya. Ia juga belajar dan mengambil nilai dari bagaimana ibunya membuat kue-kue kecil di mana dengan sabar menepuk-nepuk keliling dangan tangannya dan dengan tenang menunggu ketika kue-kue itu dipanggang. Scalabrini menjalani sekolah pertamanya di dalam keluarganya sendiri. Semua hal sederhana yang dilakukan orang tuanya dan yang diajarkan orang tuanya menjadi sekolah kehidupan bagi pembentukan dirinya. Scalabrini menjalani masa kecilnya bersama orang tua dan keluarganya di Fino Mornasco.
1.2 John Baptist Scalabrini Hanya Ingin Menjadi Imam
Pilihan hidup setiap orang kadangkala beraneka ragam dan berubah-ubah. Semua perubahan itu bergantung pada interese pribadi dalam waktu. Oleh karena itu, sangat langka bagi kita untuk menjumpai orang yang hanya memiliki satu pilihan hidup untuk selamanya. John Baptist Scalabrini merupakan salah seorang diantara kelangkaan itu. Dia tidak pernah ingin menjadi yang lain kecuali menjadi imam. Dia ingin menjadi imam untuk selamanya.
Banyak kisah yang melukiskan keteguhan dan kemauan yang kuat John Baptist Scalabrini untuk menjadi imam. Semuanya itu, bukan hanya merujuk pada pangalamannya saat dewasa semata tetapi juga sejak ia masih kecil. Diceritakan bahwa ketika ia masih kecil, ia memperlihatkan keinginannya untuk menjadi imam dengan menghabiskan cukup banyak waktunya dalam doa dan mendorong teman-temannya yang lain untuk melakukan hal yang sama. Biasanya, banyak teman-temannya yang berkumpul di sekelilingnya setelah jam sekolah hanya untuk mendengarkan dia berbicara. Selain berdoa, ia juga sangat tekun belajar. Keinginannya yang besar untuk berdoa dan belajar kadangkala membuat Scalabrini lupa waktu. Kadangkala dia baru berhenti untuk belajar atau berdoa setelah ayahnya datang dan menyuruhnya berhenti.
Ketekunan John Baptist Scalabrini dalam doa dan belajar membuatnya menjadi anak yang cerdas di sekolahnya. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di daerahnya (Fino Mornasco), John Baptist Scalabrini melanjutkan pendidikannya di Liceo Volta, Como. Di sekolahnya itu, Scalabrini dikenal sebagai siswa berprestasi dan sangat cerdas. Tidak heran bila ia selalu mendapat rangking pertama di kelasnya, walaupun ada diantara teman-teman sekelasnya yang kemudian menjadi orang terkenal seperti Paolo Carcano. Bahkan kepala sekolahnya, Profesor Luigi Mazzoletti dalam suratnya kepada John Baptist Scalabrini tahun 1893 memanggil Scalabrini sebagai “siswa teladan” di sekolahnya.
Selain itu, keutamaan lain yang turut menunjukkan keinginannya untuk hanya menjadi imam serta merupakan buah dari ketekunanannya dalam doa dan belajar adalah kemurahan hatinya dan kedekatannya dengan Allah. Kemurahan hatinya ditunjukkan dari bagaimana ia membantu teman-teman sekelasnya yang miskin dari sedikit kelebihannya dalam hal materi; bagaimana setiap akhir pekan ia asyik membantu ibunya ketika memberikan roti kepada orang miskin yang membutuhkannya dan mengetuk pintu rumahnya; dan bagaimana ia mengajak teman-teman sebayanya untuk mempraktekkan nilai-nilai cinta kasih kepada sesama. Semuanya itu merupakan buah dari kedekatannya dengan Tuhan dan nilai kristiani yang ditanamkan orang tuanya. Bahkan sebelum John Baptist Scalabrini melamar ke seminari menengah, ia memiliki gereja favorit yaitu “Gereja Salib Suci (Shrine of the Crucifix).” Di tempat itu, John Baptist Scalabrini menumbuhkan dan mengembangkan rasa cintanya yang besar kepada Ekaristi, devosi kepada Salib Kristus, dan devosi kepada Bunda Maria Berdukacita.
Hal unik lain yang menunjukkan keinginan yang kuat dari John Baptist Scalabrini untuk menjadi imam sebelum melamar ke Seminari adalah keberaniannya berbicara tentang agama kepada orang lain di sekitarnya. Semuanya itu terjadi saat dia masih bersekolah di Como. Berhubung jarak antar Fino Mornasco dengan Como cukup jauh yaitu sejauh 7 mil, maka John Baptist Scalabrini harus berjalan kaki ke Como setiap senin pagi dan berjalan pulang setiap hari Sabtu sore. Dalam perjalanannya itu, Scalabrini berbicara tentang gereja dan agama dengan para pekerja yang sedang berjalan menuju kebunnya atau pabrik sutera atau berjalan pulang dari kedua tempat itu. Scalabrini merupakan orang yang berani karena kelompok para pekerja merupakan sasaran empuk kaum sosialis. Kelompok para pekerja merupakan orang-orang yang sederhana dan miskin, namun sering diadu domba dan dijadikan lahan subur bagi ide-ide baru kaum sosialis. Mereka diberitahu oleh partai politik yang baru bahwa Gereja hanya mewakili ketamakan dan korupsi. John Baptist Scalabrini yang berbicara mendukung Gereja termasuk orang yang berani.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, John Baptist Scalabrini memberitahukan kepada orangtua dan pastor parokinya (Pater Philip Gatti) bahwa ia ingin melamar ke Seminari. Mereka sangat bahagia mendengar keinginan John Baptist Scalabrini dan mendukungnya untuk masuk seminari. Akhirnya pada musim gugur tahun 1857, dalam usiaya yang ke-18, John Baptist Scalabrini melamar dan diterima di seminari menengah santo Abbondio, Como. Di tempat itu, ia mulai mempelajari banyak hal tentang agama dan pelajaran lainya. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Seminari menengah, John Baptist Scalabrini melanjutkan pendidikannya di sekolah Teologi di Como. Di tempatnya yang baru ini, ia semakin memperdalam pengetahuannya di bidang teologi, imamat, panggilannya untuk menjadi imam, dan juga semakin memperdalam imannya akan Tuhan yang memanggilnya.
Pendidikan di seminari membentuk dan memberikan banyak masukan bagi kepribadian dan kemampuan intelektual Scalabrini. Namun diantara semua perubahan tersebut masih ada hal yang dipertahan John Baptist Scalabrini. Sama seperti tahun-tahun sebelum ia masuk seminari, ia masih tetap dikenal sebagai siswa teladan baik dalam hal prestasi belajar maupun dalam hal doa dan kepribadiannya yang baik. Di seminari tempat ia menimba ilmu dan menjalani formasinya untuk menjadi imam, John Baptist Scalabrini dikenal sebagai seminarian yang terbaik dalam hal doa, belajar, dan ketaatan. Selain itu, pada saat ia menjalani sekolah teologinya, John Baptist Scalabrini juga dipercayakan sebagai pembina bagian ketertiban bersama dengan Luigi Guanella yang merupakan teman akrabnya dan temannya dalam latihan pidato.
Walaupun semua keunggulan di atas melekat dalam diri John Baptist Scalabrini, namun semuanya itu tidaklah membuatnya menjadi sombong. Ia tetap menjadi orang yang rendah hati dan suka membantu sesamanya khususnya teman-temannya. Kebaikan hatinya ditunjukkan dari bagaimana ia dengan terbuka dan senang hati membantu teman-temannya yang kemampuan inteleknya kurang terlalu cemerlang atau membantu teman-temannya yang belum memahami dengan baik suatu bahan kuliah tertentu, dan beraneka bentuk kebaikan lainnya.
Semua hal baik yang melekat dalam diri John Baptist Scalabrini dan dipraktekkan dalam kesehariannya membuat John Baptist Scalabrini tidak mengalami hambatan untuk melanjutkan formasi pendidikannya untuk menjadi imam. Semua keutamaan yang melekat dalam dirinya membuatnya mendapat banyak dukungan dan peneguhan untuk menjadi imam. Semuanya itu menghantar dan menjawabi keinginannya untuk hanya menjadi imam untuk selamanya. John Baptist Scalabrini menanggapi panggilan Tuhan dalam dirinya melalui tindakan nyatanya di mana membentuk dirinya menjadi orang yang baik dan berjuang dengan kemampuannya untuk menggapai keinginannya dan panggilan Tuhan baginya untuk menjadi imam.
BAB II
SCALABRINI DAN KEHIDUPAN IMAMAT
2.1. Imam Baru dan Misi Awal
Keinginan menjadi imam dan misionaris tertanam kuat dalam diri Scalabrini. Baginya, dua belas mil mengayuh langkah menggapai seminari selama enam tahun serta mengasah asa selama dua tahun di bangku Filsafat dan dua tahun di bangku Teologi bukanlah satu alasan untuk menyerah dan mendesah lelah. Inilah satu-satunya jalan untuk mempersiapkan dirinya pada apa saja yang Tuhan ingin kerjakan dalam dirinya seturut kehendak-Nya. Berbekalkan motivasi yang tertanam kuat sampai ke akar nurani, pada 30 Mei 1863 Scalabrini muda ditahbiskan sebagai imam. Uskup Como, Giuseppe Marzorati secara istimewa menahbiskan Scalabrini dalam kapel pribadinya.
Tugas perutusan Yesus sebagai Nabi, Guru dan Raja kini bertahta di pundak imam muda Scalabrini. Selepas tahbisan suci yang diterimanya ia kemudian membagi waktunya untuk melayani sakramen di parokinya serta paroki tetangga, Valteline, di mana ia bekerja sebagai pastor pembantu. Di samping pelayanan sakramen, Scalabrini turut memprakarsai pembentukan Pious Union of the Sacred Heart of Jesus yang didirikan secara kanonik di Paroki Fino pada 27 Agustus 1863.
Scalabrini, seperti kebanyakan religius pada masanya memiliki keinginan istimewa yang berakar seperti mimpi yang disekat dalam-dalam pada dinding memorinya yakni ingin menjadi misionaris di Timur Jauh. Keinginannya begitu kuat hingga membawanya untuk bergabung dengan Institut untuk Para Misionaris Asing. Mimpi Timur Jauh kian memanasi semangat misinya semenjak keberangkatan sahabatnya Fr. Valentini ke tanah misi. Mimpi Scalabrini adalah Asia. Namuan Marzorati uskupnya memiliki kehendak lain atas Scalabrini “Asiamu di Italia, aku membutuhkanmu”.
2.2. Imam dan Guru
2.2.1. Guru dan Rektor Seminari
Tugas kegembalaan imamat Scalabrini kemudian melebar dari altar (Ekaristi) ke pasar (pelayanan) dan kini menjamah tataran mimbar (guru/mengajar). Bebarapa bulan selepas tahbisan sucinya ia dipercayakan untuk menjadi animator (perfect of discipline) sekaligus guru di Seminari St. Abondio – Como. Sebagai guru ia mengajar ilmu sejarah dan Bahasa Yunani.
Menghidupi peran sebagai seorang guru diekspresikan secara sungguh oleh Scalabrini. Akses yang luar biasa dalam bidang sastra begitu nampak terutama kefasihannya dalam bahasa Latin dan Yunani baik lisan maupun tulisan. Apresiasi-aktif atas keunggulannya dalam menguasai bahasa-bahasa asing ini kemudian didedikasikan secara khusus bagi penerjemahan dokumen St. Sirilus dari Yerusalem. Selain itu, ia juga memiliki kemampuan yang cukup untuk menguasai bahasa Ibrani.
Kemampuan Scalabrini dalam menguasai bahasa-bahasa asing kemudian dibuktikan lebih lanjut pada acara ulang tahun perang salib pertama (First Crusada) yang ke 800 pada 17 Mei 1895 di Katedral Clerment – Ferrand. Kotbahnya yang keseluruhan isinya disampaikan dalam bahasa Prancis mengundang kekaguman segenap umat yang hadir. La sepeche du puyde – dome wrote (dia berbicara bahasa Prancis seperti putra kelahiran Prancis), beberapa yang hadir memberi komentar tentangnya.
Karya mimbar (mengajar), sebagai salah satu tugas perutusan Yesus kemudian bertambah di atas pundaknya semenjak 6 Oktober 1868 ketika ia diangkat menjadi Rektor Seminari St. Abondio. Meski demikian keterbukaan akan wawasan baru serta roh kerendahan hati yang terpantul dari kerling nuraninya menjadikan Scalabrini menerima semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan tulus. Pada kesempatan ini kemudian ia diundang oleh sahabatnya Bonomeli untuk memberikan ret-ret spiritual bagi para seminaris sahabat baiknya itu.
Tahun-tahun sebagai rektor, diisi pula oleh Scalabrini dengan beberapa pembekalan akan ilmu pengetahuan bagi dirinya. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya untuk meraih beberapa gelar yang dirasa perlu demi peningkatan mutu imamatnya juga para seminaris. Ketajaman berpikir, agresifitas-intelektual, aktif serentak kreatif menjadikannya selalu sukses dalam pendidikannya baik dalam bidang Teologi, Filsafat, Sejarah maupun Politik.
Dari sekian hasil studinya Scalabrini menghasilkan dua (II) ceramah atas Konsili Vatikan II (KV II) yang kemudian dipresentasikan di Katedral Como pada 1872. Karya ini kemudian diterbitkan setahun kemudian atas permintaan dari para Klerus Diosesan. Selain itu terdapat pula karya-karya lain Scalabrini termasuk di dalamnya refleksi atas Summa Teologi dari St. Thomas Aquinas, sebuah refleksi eklesiologis atas terjemahan dari Homili St. Chrisostomus dan beberapa surat St. Athanasius serta beberapa persoalan kateketik.
2.2.2. Menata Pendidikan Calon Imam
Tahun-tahunnya di seminari merupakan gulungan tahun yang menuntutnya untuk membekali para seminaris dengan pengetahuan dan analisis yang tajam akan pengetahuan yang mereka peroleh. Di luar tembok-tembok biara dan Gereja, kelompok-kelompok anti-klerikal melempar fitnah melawan otoritas Gereja. Kaum sosialis dan liberal membanjiri negeri dan mengklaim setiap properti untuk menjadi milik mereka. Imam-imam ditantang bahkan diserang baik secara verbal maupun fisik. Badai anti klerus menerjang Gereja tahun ini (1870), meletupkan kedamaian menjadi serpihan-serpihan kebencian yang terus dan terus menyusup masuk hingga ke meja altar.
Tahun 1870 menjadi tahun yang gelap, tahun ketika kedamaian mendapat tamu kelam, tak terundang. Pemerintahan Masonik menyerang secara terbuka kepada Gereja. Scalabrini menatap setiap tenunan peristiwa hitam ini dari balik jendela seminari. Ia kemudian berbalik, menatap setiap mata para seminarisnya. Menatap wajah-wajah muda yang tegar mengikuti panggilan mereka masuk ruang-ruang seminari di mana Scalabrini berada. Demi menjadi imam, satu-satunya alasan para seminaris muda masuk seminari. Harap-harap saja mereka sungguh-sungguh dipanggil dan bersedia dengan keutamaan hati menjawab panggilan Allah yang suci itu.
Di luar seminari kaum sosialis dan masonik bersiap-siap untuk menyerang dan menyesah wajah-wajah muda ini. Serangan yang bertubi-tubi terhadap Gereja berusaha meyakinkan umat dan terutama para seminaris bahwa sejarah Gereja tak punya arti dan penuh dengan kebohongan serta manipulasi. Scalabrini berdiri di hadapan sekian wajah muda para serdadu Kristus dan sembari mengerahkan seluruh kekuatan struktural budi dan nuraninya untuk membekali para seminaris. “Gunakanlah akalmu” Scalabrini menutur tegas kepada para seminaris. “Berpikirlah secara utuh dari seluruh kepribadianmu. Jangan biarkan satu orang pun membingungkan kalian”.
Scalabrini tahu salah satu hal yang turut mempengaruhi kualitas seorang imam adalah pendidikan yang baik serta ketajaman intelek. Iman, Scalabrini tahu pula, iman berdiam di kedalaman hati para seminaris. Sekaranglah waktunya untuk bangkit demi mengilhami dan mencahyai akal budi. Seperti Kristus, manusia yang sangat brilian sepanjang abad. Kata-kata dan seluruh ajaran-Nya membuktikan ketajaman pikiran-Nya. Itulah sebabnya, Scalabrini menekankan betapa pentingnya ketajaman akal, mesti lebih tajam dari mata pisau cukur.
Scalabrini pun merepresentasikan suatu aufklarung (pencerahan) terhadap metodisasi pendidikan di seminari. Sistem pendidikan ditata sesuai dengan tuntutan jaman dan desakan peristiwa yang merong-rong Gereja. Dia mulai mendikte setiap mata pelajaran dan menuntut para seminaris untuk menghafal, mengingat serta mengerti apa yang telah didiktekan. Bahaya yang mengacam Gereja merupakan satu ancaman langsung maka jawaban yang diberikanpun haruslah secara langsung.
Scalabrini secara sadar dan tegar menyiapkan prajurit yang kokoh ke medan pertempuran. Pertempuran yang menuntut availabilitas kepenuhan diri sebab bukan merebut lahan berhektar-hektar tetapi merebut roh dan kesetiaan atasnya. Itulah sebabnya Scalabrini memiliki konsep yang tinggi tentang pendidikan. Pendidikan adalah kekuatan yang mengiluminasi akal dengan cahaya kebenaran untuk menginspirasi kemauan baik dan membakar imajinasi melalui perkembangan fakultas ilmu spiritual yang harmoni.
Calon-calon imam bagi Scalabrini harus memiliki imajinasi, inspirasi dan iluminasi untuk menghadang setiap penantang terhadap keutuhan Gereja di luar tembok-tembok seminari. Seorang imam harus berinteligensi tinggi, menggunakan seluruh kekuatan intelek yang telah Tuhan berikan bagi mereka. Mereka mesti berpikir dari diri mereka dan mesti selalu peka terhadap sejarah sekitar mereka, yang menyertai mereka dari waktu ke waktu.
Lebih dari itu Scalabrini menginginkan imam yang memiliki fokus perhatian pada kemampuan untuk mendengar dan jujur. Oleh karenanya Scalabrini menantang para seminaris dengan sistem pendidikan dan materi pengajaran yang keras. Ia mengajar dengan penuh antusiasme sebagai basis penting dalam pengetahuan manusia untuk melayani kebenaran Ilahi dan keutamaan atas-Nya.
2.3.Pastor Paroki
Dalam tahun-tahun ini Gereja sedang diliputi mendung kontroversi tentang invalibilitas Paus. Dalam situasi seperti ini Scalabrini malahan ditunjuk sebagai pastor paroki St. Bartolomeus, tepatnya pada bulan Juli 1870. Sebuah tanggung jawab baru dan penting diletakkan di atas pundaknya. Ia memegang kendali atas paroki yang tersohor dari masa ke masa di keuskupannya Como. Selain itu paroki ini memiliki sepuluh ribu (10.000) umat yang kebanyakan dari mereka bekerja sebagai buruh kerja pabrik industri tekstil. Secara istimewa, peyerahan jabatan sebagai pastor paroki diterimanya pada Minggu ke tiga bulan suci pada pesta St. Luis.
Dari sekian pelayanan pastoralnya, yang menjadi favoritnya adalah anak-anak, orang sakit, dan pekerja. Bagi anak-anak ia mendirikan taman kanak-kanak yang perlahan-lahan membantu pembentukan dasar pemahaman iman dalam hati mereka. Scalabrini juga mengkompilasi katekese singkat bagi anak-anak yang kemudian dipubliksikan pada tahun 1875 dengan judul “Katekese Singkat bagi Anak-anak”. Usaha ini benar-benar brilian sebab tahun-tahun ini ia telah memulai satu revolusi inovasi atas perkembangan kehidupan religius terutama di kalangan anak-anak. Di sini anak-anak kemudian menemukan nilai-nilai kebajikan Kristiani untuk kehidupan mereka.
Di samping itu, untuk anak-anak lelaki Scalabrini menyelenggarakan satu kursus berpidato yang kemudian didedikasikan bagi St. Yosep. Di bawah perlindungan St. Yosep, Scalabrini berharap agar anak-anak mampu memikul batu dan kayu untuk keperluan konstruksi rumah iman mereka sendiri. Melalui cara ini Scalabrini menyisihkan waktunya untuk berbicara dan bercakap dengan mereka tentang kehidupan iman yang teguh dan kepatuhan religius yang kokoh.
Sementara itu, untuk orang-orang muda ia mendirikan berbagai asosiasi Katolik yang kemudian berkembang secara dinamis dengan sekian program yang sungguh berdampak positif dalam banyak hal di masyarakat.
Bagi orang sakit Scalabrini juga menunjukkan semangat perhatian yang tinggi. Pelayanan bagi orang sakit justru kemudian menjadi semacam devosi besar baginya dalam karya pelayanan pastoralnya. Tak segan-segan ia mengunjungi sekian orang sakit satu persatu di rumah mereka masing-masing setiap malam. Demi membantu mereka secara efektif ia mendirikan satu organisasi yang kemudian menjadi Perhimpunan St. Vinsensius dari Paul.
Demikian pula bagi para pekerja pabrik, Scalabrini mengabdikan dirinya melalui karya pelayanan pastoralnya. Ia membantu mereka untuk mencari jalan atas nama keadilan dan pemahaman antar kelas-kelas sosial untuk menyesah kejahatan sistem industrial baru. Bagi mereka kemudian ia mendirikan Organisasi Caritas dan mengkreasi asosiasi bantuan bersama antara para pekerja pabrik dan pekerja ladang atau petani. Di sinilah Scalabrini mendedikasikan secara utuh seluruh ikrar kesetiaan terhadap semangat imamatnya kepada Tuhan. Melalui wajah umat-umatnya ia tahu Tuhan di sana.
BAB III
SCALABRINI: USKUP PIACENZA
3.1. Pengangkatan Sebagai Uskup Serta Peran Scalabrini Bagi Keuskupannya
3.1.1. Paus Pius IX Menunjuk Scalabrini Menjadi Uskup
Pada bulan Desember 1875, Scalabrini yang pada waktu itu masih sebagai imam muda dan penuh energi, menerima kabar yang mengejutkan dari tahta suci bahwa Paus Pius IX mengangkatnya menjadi Uskup Piacenza. Suatu posisi yang tidak pernah ia bayangkan dan pikirkan sebelumnya. Terpilih menjadi uskup dalam usianya yang masih terbilang muda (36 tahun) merupakan suatu hal luar biasa bagi Scalabrini. Scalabrini yang dahulu hanya ingin menjadi seorang misionaris di timur jauh, yang tidak ingin dirinya dikenal, sekarang diangkat menjadi pemimpin gereja, gembala umat Keuskupan Piacenza.
Ada beberapa kisah yang menarik untuk dilukiskan sebelum Scalabrini ditunjuk secara resmi menjadi uskup Piacenza. Suatu hari seorang imam P. Pietro Caminada, berdoa memohon pertolongan dari Bunda Segala Rahmat bagi perdamainan di kota Salsomaggiore dimana di sana terjadi perpecahan antara imam dan umat. Dalam doanya, ia mendengar semacam suara yang berbisik kepadanya bahwa salah seorang pastornya akan diangkat menjadi Uskup Piacenza dan ia yang nanti akan mengatasi semua persoalan itu. Sebuah kisah yang kelihatan skeptic, tidak masuk akal dan mungkin mudah dilupakan orang.
Kisah lain yang juga menarik terjadi pada bulan Desember. Ini terjadi pada pagi hari ketika Scalabrini sedang berdoa di dalam gereja. Tiba-tiba seorang kanonis datang mendekatinya, berlutut dihadapannya sebagai tanda hormat kepada sang Uskup. Scalabrini sedikit bingung dan merasa tidak percaya dengan semua yang terjadi dan ia mengharapkan kabar tersebut tidak tersebar sebelum ia mendapatkan pengumuman resmi dari tahta suci. Pada waktu yang bersamaan Scalabrini menerima surat resmi dari tahta suci bahwa dirinya diangkat menjadi Uskup Piacenza.
Seorang mantan guru dan rektor, dan kini sebagai pastor paroki yang tekun, cerdas, penuh ketelitian, serta memiliki integritas yang tinggi dianggap pantas oleh tahta suci untuk memegang tahta Keuskupan Piacenza. Pengangkatan dirinya menjadi uskup sungguh menggugah hati sang imam muda. Usia imamatnya yang baru 12 tahun boleh dikatakan belum sanggup untuk memegang sebuah tanggungjawab besar sebagai uskup. Scalabrini merasa dirinya tidak punya apa-apa selain sebagai pengajar di seminari dan kini bekerja sebagai pastor paroki terutama bagi orang miskin dan orang-orang sakit.
Provinsi Piacenza tempat uskup Scalabrini mengabdi memiliki sejarah tersendiri. Pada zaman pra historis, Piacenza ditutupi oleh lautan sehingga tanahnya menjadi subur. Pada tahun 218 S.M. Roma menduduki daerah tersebut dan dijadikan sebagai benteng untuk mempertahankan diri dari serangan Gauls dan Carthaginians. Pada abad pertengahan Piacenza mulai membangun dirinya sendiri dengan menara yang tinggi. Pada zaman Scalabrini, Piacenza dikenal sebagai pusat ekonomi dan tempat perbantahan politik dan sosial. Revolusi industri pada waktu itu juga menyentuh kehidupan masyarakat Piacenza. Iklan-iklan sosial politik dan juga agama memenuhi jalan-jalan kota. Di samping kota Piacenza mengalir tenang sungai Po yang menghubungkan kota dengan bagian utara Italia.
3.1.2. Perasaan Scalabrini Ketika Ditunjuk Menjadi Seorang Uskup
Siapapun pasti merasa tidak yakin dimana menjadi uskup dalam usia imamat yang begitu muda (12 tahun). Demikian pun yang terjadi pada diri Scalabrini. Scalabrini merasa dirinya tidak punya apa-apa menjadi seorang Uskup. Ia dikenal sebagai seorang gembala yang sangat mencintai umatnya, giat dan aktif dalam kegiatan sosial karitatif, membangun perkumpulan untuk kaum muda, membentuk asosiasi untuk para pekerja, dan juga bersikap kritis terhadap gereja yang hanya pasif dihadapan drama kehidupan manusia.
Scalabrini adalah seorang imam yang tidak suka akan kehormatan. Baginya seorang pengikut kristus haruslah sederhana. Ia sadar bahwa tahta keuskupan yang sekarang sedang ia duduki akan mempengaruhi pandanganya mengenai pribadi Kristus yang sederhana. Pada tiang humilitas ia mengajak semua imamnya untuk melaksanakan segala tugas yang telah dipercayakan oleh Gereja kepada mereka dengan penuh tanggung jawab tanpa ada harapan mendapatkan imbalan atau penghargaan. Harapan agar para imamnya untuk hidup sederhana dan tidak menyalahgunakan imamat yang dimeteraikan, sungguh berdasarkan pada personalitasnya. Scalabrini adalah orang yang tidak berambisi untuk mencari popularitas diri.
Sang Uskup yang dulu pernah bertugas di paroki San Bartolomeo sungguh mengenal wajah-wajah harapan umat kegembalaannya. Penampakan wajah mereka menggugah eksistensinya sebagai seorang Uskup untuk berani keluar dari kenyamanan istana keuskupan dan menyapa mereka yang berdiam di lereng-lereng gunung maupun yang berkeliaran di jalanan kota Piacenza.
Scalabrini juga sadar bahwa menjadi seorang Uskup merupakan sebuah tugas yang berat dan penuh tantangan. Kekuatan dan kecemasan silih berganti menghampiri sang uskup dan semuanya itu bersumber dari penampakan wajah-wajah harapan umat yang ia gembalai, yang selalu ia lihat dari jendela kamarnya, dan juga akan Yesus yang tergantung di salib yang senantiasa menyapanya “Datanglah ke tempat di mana Aku berada, dan tolonglah Aku”.
3.1.3. Tahbisan Uskup di Roma
Kemegahan dan keagungan kota Roma sudah tentu membuat semua mata yang memandangnya berdecak kagum. Basilica St. Petrus yang berdiri kokoh dengan dibaluti lukisan-lukisan indah karya para seniman, menggambarkan sebuah keagungan dan kemulian sang seniman abadi Yesus Kristus.
Pada bulan Januari, 1876 Scalabrini menginjakkan kakinya di kota suci dalam sebuah keheningan dan kesederhanaan. Tepatnya pada tanggal 30 Januari 1876, ia ditahbiskan menjadi Uskup oleh Kardinal Alessandri Francli. Keinginan Scalabrini untuk menjadi seorang misionaris sungguh mempengaruhi hidupnya dan hal ini dapat kita lihat ketika dalam acara tabhisannya, Scalabrini meminta agar dirayakan di kapela yang didedikasikan secara khusus kepada para misionaris.
Sekarang Scalabrini secara resmi diberikan otoritas untuk menduduki sebuah tahta keuskupan. Ia diberikan kuasa untuk menabiskan para imam, dan menggembalai umat dalam wilayah keuskupan Piacenza. Sadar akan tugas yang begitu berat yang akan dihadapinya, Uskup Scalabrini menyempatkan diri untuk berdoa di hadapan kubur St. Petrus. Ia meminta kekuatan dan bantuan dari Allah agar ia mampu mengorbankan dirinya secara penuh dalam menggembalakan domba-domba yang dipercayakan kepadanya.
Beberapa hari kemudian, Scalabrini meninggalkan kota Roma menuju Keuskupannya. Ketika mendekati perbatasan keuskupan, Uskup Scalabrini berlutut untuk meminta berkat dari Tuhan dan Santo pelindung keuskupannya. Umat yang sedang menanti kedatangan sang gembala baru menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan sukacita.
Piacenza adalah sebuah keuskupan dengan wilayah yang cukup luas dan memiliki lebih dari 200 paroki yang cukup terisolir yang hanya bisa dijangkau dengan menunggang kuda. Sebagai seorang Uskup dengan usia yang begitu muda, kenyataan ini menjadi tantangan baginya. Uskup Scalabrini diberikan sebuah tempat yang aman dan istimewa di istana keuskupannya serta kuda yang akan digunakan dalam kunjungan pastoralnya. Dalam karya kegembalaanya, Scalabrini dikenal sebagai uskup yang tegas, terbuka serta mau melayani siapa saja. Ia selalu ingin dekat dengan umatnya, tidak mau membiarkan dirinya tenggelam dalam kemewahan istana keuskupan tetapi sebaliknya ia keluar untuk menyapa hati domba-domba kegembalannya.
3.1.4. Kunjungan Pastoral
Seorang gembala yang baik bukan hanya berbicara atau menulis tetapi juga bertindak. Selain itu, sebelum bertindak pertama-tama dia harus mengetahui apa yang akan ia lakukan. Semuanya ini terealisasi dalam kunjungan pastoralnya yang ia lakukan kepada umat di seluruh wilayah keuskupannya.
Pada tanggal 4 November yang bertepatan dengan pesta St. Carrolus, Uskup Scalabrini mengeluarkan surat yang berisikan berita kunjungan pastoral kepada umatnya. Tujuan yang ingin ia capai dalam kunjungan pastoralnya adalah mewartakan Kristus yang tersalib, menyadarkan rasa kekatolikan kepada umatnya, serta ingin mengetahui keadaan umatnya secara lebih dekat. Pengumuman kunjungan pastoralnya ditanggapi dengan penuh antusias oleh umatnya yang dengan penuh harapan mendambakan kehadiran seorang gembala di tengah-tengah mereka.
Dalam kunjungan pastoralnya yang pertama, lebih dari 200 paroki dikunjunginya dengan hanya menunggang kuda. Tidak pernah sekalipun kata mengeluh keluar dari mulutnya, meskipun sekali waktu ia harus berjalan kaki, menyisiri lereng-lereng gunung yang sempit menjemput kawanan dombanya yang telah lama merindukan kehadiran sang gembala. Ketika tiba di paroki yang ia kunjungi, Sang Uskup selalu menyapa hangat para umat yang telah lama menantikan kehadirannya. Sapaan hangatnya membawakan sejuta kegembiraan di hati mereka. Uskup Scalabrini sungguh mengenal keadaan umatnya dan dengan besar hati menerima segala sesuatu yang diberikan umatnya. Uskup Scalabrini bahkan rela tidur di kandang ayam. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi bagi seorang uskup zaman ini.
Setelah menyapa umatnya, uskup Scalabrini langsung melayani sakramen pengakuan kepada umatnya dan ini berlangsung hingga larut malam. Walaupun demikian, pada keesokan harinya ia merayakan misa bersama umatnya. Tidak ada kata istirahat bagi Scalabrini, segala waktu diisinya dengan penuh makna. Ia menyempatkan diri mendengarkan pengajaran katekese kepada anak-anak dan memberikan pertanyaan serta jawaban kepada mereka. Selain itu, di waktu luang ia mengecek semua file paroki. Banyak orang yang mendampingi sang uskup dalam kunjungan pastoralnya mengatakan bahwa “bila ia terus bekerja seperti ini, ia memotong usia hidupnya”. Uskup Scalabrini selalu merespon bahwa “sesuatu yang sungguh menggembirakan berada bersama umatku yang penuh iman yang jauh dari kebisingan dan hiruk-pikuk duniawi”.
Kunjungan pastoralnya yang pertama membawa sebuah pembaharuan bagi umatnya. Kehadirannya di tengah-tengah umat membawa sukacita, kegembiraan dan harapan. Orang-orang yang dahulu berpaling dari Gereja kini kembali kepangkuan gereja dan kehidupan kristiani dipugar kembali. Pada tanggal 26 September 1880, Uskup Scalabrini mengumumkan berakhirnya kunjungan pastoral yang pertama. Seperti Yesus pernah berkata “Aku mengenal domba-domba-Ku dan domba-domba-Ku mengenal Aku” demikian juga Scalabrini. Rasul Paulus juga berkata “saya datang kepadamu dalam kemuliaan dan atas kehendak Allah dan kemuliaan itu telah tinggal dalam dirimu”.
Kunjungan pastoralnya yang kedua berlangsung dari bulan april 1882 hingga 1887. Sebuah periode yang penuh tantangan dan pada akhirnya menuai hasil yang besar. Kunjungan pastoralnya yang ketiga berlangsung pada tahun 1888 dan pada waktu itu kondisi kesehatannya tidak memungkinkannya untuk berjalan mengunjungi umatnya sehingga ia mendelegasikan kepada bawahannya. Kunjungan yang ketiga berakhir pada tahun 1891. Kunjungan pastoral yang keempat berlangsung dari tahun 1893-1895.
Di akhir kunjungan pastoral yang keempat, Scalabrini merasa letih. Usia yang semakin tua membuatnya tidak kuat lagi melangkah menyisiri setiap lembah dan sungai. Walaupun demikian Scalabrini tidak patah semangat. Sekembalinya dari Brazil, ia masih menyempatkan diri untuk mengunjungi umatnya. Di akhir usia hidupnya Scalabrini masih merencanakan kunjungan pastoralnya yang keenam.
Dalam setiap kunjungan pastoralnya, Uskup Scalabrini merasa sangat gembira terutama ketika dikelilingi oleh umatnya. Uskup Scalabrini juga menaruh perhatian yang cukup besar terhadap perkembangan kehidupan generasi muda. Dia mengajak para imamnya untuk dengan sungguh-sungguh menjaga dan memelihara kepolosan dan keluguan mereka. Paroki perlu membangun suatu wadah yang bisa mengakomodasi kaum muda, memberikan pengajaran tentang iman, dan juga membangun tempat rekreasi bagi mereka. Dalam sinode keuskupan, uskup Scalabrini menegaskan pentingnya perhatian terhadap orang miskin, para janda dan juga anak-anak.
Uskup Scalabrini dikenal sebagai uskup yang memiliki watak yang keras dan tegas dalam melawan setiap tindakan yang bertentangan dengan ajaran kristiani. Banyak orang yang anti terhadap geraja merasa segan bila berhadapan dengan uskup Scalabrini. Dalam setiap kesempatan kunjungan pastoralnya, uskup Scalabrini banyak menyelamatkan jiwa umatnya yang telah lama tersesat. Orang-orang yang telah lama berpaling dari gereja kini kembali dirangkul oleh sang gembala. Uskup Scalabrini selalu menekankan pentingnya penyelamatan bagi jiwa-jiwa.
Selain dikenal sebagai pribadi yang tegas dalam hal ajaran iman, uskup Scalabrini juga menaruh perhatian yang besar terhadap liturgi. Ia selalu menekankan kepada para imamnya untuk merayakan liturgi dengan penuh iman. Kepada para seminaris, dia mengajarkan bagaimana merayakan ekaristi dengan baik dan penuh perhatian. Uskup Scalabrini juga memiliki perhatian terhadap musik. Tentang hal ini ia mengatakan bahwa “musik merupakan salah satu ekspresi liturgis yang kuat dan indah yang mampu menghantar doa-doa kita kepada Allah”. Untuk itu dalam liturgi, musik memiliki tempat yang istimewa dan memiliki makna yang besar.
3.1.5. Bapa Para Bisu dan Tuli
Uskup Scalabrini memiliki perhatian yang khusus terhadap orang-orang bisu dan tuli. Hal ini telah ia rasakan dan pendam sejak ia menginjakkan kakinya di seminari. Dalam setiap kunjungan pastoralnya ia menjumpai banyak orang bisu dan tuli. Dalam surat pastoralnya tahun 1880, ia menulis demikian “orang bisu dan tuli kehilangan sarana yang menakjubkan dalam mana keharmonisan menusuk jiwa. Kata, kekuatan yang mempersatukan akal dengan akal, hati dengan hati yang menyambarkan telinga tetapi tidak menimbulkan dampak bagi mereka, bagai anak panah ditembakan pada batu”. Sebagai sebuah bentuk perhatian bagi mereka, Uskup Scalabrini bersama para suster dari kongregasi St. Anna membuka sebuah rumah bagi mereka dan sesekali waktu ia datang mengunjungi mereka.
Sesuatu yang menakjubkan dimana para wanita yang bisu dan tuli tersebut mengabadikan diri berdoa di depan Sakramen Maha Kudus. Di tengah kebisuan, mereka berkomunikasi dengan Kristus yang bersemayam dalam ekaristi. Dalam keheningan adorasi mereka mengerti bahwa Allah sang pemberi kehidupan mendengarkan doa-doa mereka. Uskup Scalabrini sadar bahwa mengurus orang-orang bisu dan tuli bukanlah sebuah perkara yang mudah, namun ia yakin bahwa sebelum Kristus meninggalkan dunia, Ia menitipkan tanda yang berharga dan misterius kepada kita yakni tanda kasih, tanda cinta, dan tanda kehadiran.
3.1.6. Uskup Scalabrini Mulai Dikenal
Uskup Scalabrini dikenal sebagai seorang figur yang berani menentang setiap ketidakadilan yang ada di sekitarnya. Dia mengajak para imam dan umat untuk berani masuk ke arena publik dengan tanpa membawa senjata untuk melawan setiap bentuk kejahatan, tetapi dengan memberikan pencerahan dalam terang hukum kristiani. Mari kita memasuki kehidupan publik bukan sebagai musuh kekuasaan yang sah tetapi sebagai lawan yang tidak kenal lelah memerangi kejahatan dimanapun ia ditemukan.
Paus Pius IX sangat mengagumi keberanian sang uskup muda. Dalam salah satu kunjungannya ke Roma bersama para peziarah, Uskup Scalabrini dihadiahi sebuah salib oleh Paus. Paus sendiri mengetahui apa yang telah dilakukan oleh Uskup Scalabrini di keuskupannya. Paus sangat menghargai usaha Uskup Scalabrini dan memberikan kepadanya sebuah salib permata. Setahun kemudian, sebelum Paus Pius IX meninggal dunia, ia menyerahkan sebuah piala emas kepada Uskup Scalabrini, namun kemudian Uskup Scalabrini menjualnya supaya bisa memberi makanan kepada umatnya disaat kelaparan melanda keuskupannya. Bagi Uskup Scalabrini, Gereja adalah sebuah peti kekayaan yang perlu dikosongkan terus-menerus. Semakin anda menerima, semakin bermurah hati pula anda memberi.
Uskup Scalabrini juga dikenal sebagai uskup yang memiliki ketaatan penuh kepada Paus. Ketika raja Emmanuel II meninggal dunia pada tahun 1878, para wakil politik kota Piacenza meminta kepada sang uskup untuk mempersembahkan misa arwah di katedral, tetapi uskup Scalabrini dengan tegas menolaknya sebelum ia mendapatkan persetujuan resmi dari Paus. Keputusanpun datang dan hanya mengijinkan misa di geraja yang lain kecuali di katedral dan Paus meminta agar Uskup Scalabrini tidak menghadiri acara tersebut. Uskup Scalabrini sendiri sebenarnya berpikir bahwa merupakan sesuatu yang bijaksana untuk mengizinkan misa di Katedral. Namun karena kesetiaanya kepada Paus, ia tidak ingin melangkah sendiri. Banyak umat yang merasa kecewa dan melempari Sang uskup dengan batu sewaktu ia kembali dari kunjungan pastoralnya. Namun Uskup Scalabrini tetap tegas pada pendiriannya sampai pada akhirnya ia menerima surat resmi dari Roma dimana Paus mengijinkan Uskup Scalabrini merayakan misa requem bagi raja.
3.1.7. Melatih Imam-imam Muda
Uskup Scalabrini sangat peka terhadap situasi yang terjadi di luar istana keuskupannya. Berkaitan dengan semua persoalan yang terjadi, ia membuat pembaharuan dengan pertama-tama dilakukan bagi para imam-imam dan calon-calon imamnya. Ia melatih para imamnya untuk hidup suci sejak dari seminari. Mereka tidak boleh berkompromi mengenai kebenaran untuk memenangkan kelompok tertentu. Para imam juga dilatih dan diajak untuk memiliki kepekaan terhadap budaya. Bagi Uskup Scalabrini, kebenaran diekspresikan dalam setiap kebudayaan, tetapi kebenaran itu sendiri tidak boleh diintimidasi oleh kebudayaan.
Uskup Scalabrini membentuk para imamnya untuk sensitif terhadap fakta sejarah yang terjadi di sekitarnya, karena ada bahaya orang menggunakannya sebagai senjata untuk melawan geraja. Uskup Scalabrini mengajak para imamnya dengan mengatakan “penuhilah pelayanan imamatmu dengan hormat dan bermartabat. Dalam berpakaian, cara berjalan, berdiri, dalam apa yang kalian bawa. Tuntunlah dan yakinkanlah dirimu bahwa engkau bertindak atas nama dan cara hukum suci yang telah engkau terima”.
Dalam membentuk dan mempersiapkan para laskar Kristus (para imam) ditengah pergolakan dunia, uskup Scalabrini menekankan pentingnya pendidikan. Pendidikan menjadi prioritas utama seorang imam karena pendidikan adalah terang untuk melawan setiap ketakutan dan kebingungan. Pendidikan membantu para imam dalam memilih jalan yang benar dalam menghadapi setiap kenyataan hidup. Pendidikan dan iman menghancurkan kebingungan. Uskup Scalabrini menerapkan kurikulum yang bermanfaat bagi para imamnya seperti ilmu alam dan kemanusiaan. Filsafat menjadi ilmu yang paling utama untuk dipelajari karena ia mengatasi semuanya. Dia juga memilih para seminaris yang memiliki kemampuan lebih untuk belajar di universitas. Baginya lebih baik memiliki sedikit tetapi bermutu, daripada banyak tatapi tidak bermutu.
Dalam kunjungan pastoralnya dia selalu mengecek setiap buku doa harian dari para imamnya. Jika didapatkan ada imam yang jarang berdoa maka ia meminta imam tersebut berhenti dari aktivitasnya dan mulai berdoa. Dia juga menekankan kepada para imamnya sebuah spiritualitas yang tinggi serta kerendahan hati (humilitas).
3.1.8. Mengajarkan Katekese Kepada Umatnya
Uskup Scalabrini bukan hanya mengajar para imamnya saja tetapi juga mengajar umatnya tentang iman. Ia sendiri mendirikan sebuah lembaga tinjauan kateketik pada tahun 1876 dengan maksud mengajarkan iman kepada umat yang kebingungan dan terpecah-pecah. Sampai pada tahun 1930, lembaga tersebut merupakan yang pertama di Italia. Kebenaran-kebenaran pokok tentang iman yang dihasilkan dalam konsili Vatikan I disosialisasikan kepada umatnya oleh Uskup Scalabrini.
Uskup Scalabrini juga berusaha membuat katekismus dalam setiap tingkatan usia dengan maksud agar menjangkau semua tingkatan dalam masyarakat terlebih khusus bagi anak-anak. Bagi uskup Scalabrini pusat katekismus adalah Kristus. Katekismus harus menjadi pintu dimana melaluinya semua orang dapat masuk dan menemukan tempat kudus bagi pribadi. Sebuah ruang dimana ia dapat berpikir, beriman, dan membuat keputusan.
Uskup Scalabrini percaya bahwa mengkatekese adalah misi gereja. Sebagaimana Kristus pernah berkata “pergilah, ajarlah semua manusia.” Katekismus juga berarti mempertanyakan secara terus menerus dan tajam akan eksistensi geraja. Gereja pada titik tertentu harus juga mempertanyakan dirinya. Ketika uskup Scalabrini diserang dan dilempari dengan batu oleh umatnya, ia tidak pernah mempersalahkan mereka. Uskup Scalabrini justru mempertanyakan apa sesungguhnya yang terjadi dibalik lemparan batu tersebut. Geraja mempunyai kewajiban untuk melihat segala ketakutan dan kebingungan yang ada di wajah umatnya.
3.2. Uskup Scalabrini Seorang Sosok Nasionalis
3.2.1. Migrasi Besar-Besaran Di Italia.
Kekisruhan politik yang terus terjadi di Italia, perpecahan antara geraja dan umat, serta bencana alam yang melanda negeri tersebut membuat masyarakat berpikir untuk berpindah dan mencari daerah baru yang bisa memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi mereka. Pada waktu itu, Amerika merupakan daerah tujuan yang menjanjikan bagi masyarakat miskin Italia. Mereka mengemasi barang-barang mereka dan bermigrasi ke Amerika untuk mencari tanah baru yang dapat memberikan kehidupan yang lebih baik bagi mereka. Tanah yang menyediakan susu dan madu. Demikianlah halnya terjadi di keuskupan Piacenza tempat uskup Scalabrini mengabdi. Kepergian mereka menyayatkan hati Uskup Scalabrini, namun ia tak kuasa menahan kepergian mereka.
3.2.2. Paus Leo XIII Dipilih Menjadi Paus
Pada tahun 1879 dua figur besar dalam sejarah Geraja Katolik dan pemerintahan meninggal dunia. Pada 9 Januari 1879 Raja Victor Emanuel meninggal dunia dan kemudian menyusul pada tanggal 7 February 1879 Paus Pius IX juga meninggal dunia. Kardinal Vincenzo Gioacchino Pecci yang pada waktu itu berusia 68 tahun, dipilih menjadi Paus baru dengan mengambil nama Leo XIII. Paus Leo XIII banyak menulis Ensiklik yang membawa pengaruh terhadap pemikiran Gereja dan salah satunya yaitu “Rerum Novarum” yang dikeluarkan pada tahun 1891. Ensiklik tersebut berbicara mengenai hak-hak kaum pekerja. Paus sendiri telah mengamati dan mengetahui banyak hal yang dilakukan oleh Uskup Scalabrini di keuskupannya. Ia melihat bagaimana Uskup Scalabrini berjuang menentang para politisi dan juga mengajarkan katekese kepada umatnya. Paus Leo XIII mengetahui bahwa uskup Scalabrini memiliki perhatian yang besar terhadap situasi politik dan religius yang meretakkan Italia. Keprihatinannya terhadap dunia politik membuka pintu bagi para penentangnya untuk menyerangnya, namun Uskup Scalabrini tidak pernah mundur. Setiap perjuangan yang ia lakukan bukan semata-mata demi popularitas dirinya tetapi demi geraja dan orang-orang disekitarnya. Paus Leo XIII bergandengan tangan bersama Uskup Scalabrini memperjuangkan partisipasi Katolik dalam arena politik.
3.2.3. Pamflet “Intransigent” dan Transigent”
Pada tahun 1885, Paus Leo XIII mengeluarkan sebuah pamflet yang merangsang pemikiran orang-orang katolik mengenai keterlibatan mereka dalam pemilihan umum. Hal ini dilakukan karena Paus Leo XIII melihat penderitaan umatnya sehingga ia dengan berani mengambil langkah untuk terjun ke dunia politik. Sebuah langkah yang sudah tentu akan menuai banyak kritikan. Paus menyiapkan beberapa poin yang akan dimuat dalam pamflet tersebut dan menyerahkannya kepada Uskup Scalabrini untuk mengatur semuanya.
Dengan merujuk pada situasi yang ada, Paus sendiri melihat dengan sangat teliti langkah mana yang harus diambil dan yang lebih menguntungkan Gereja. Paus juga yakin bahwa Uskup Scalabrini mampu melihat dan menentukannya. Namun sebelum ia menerbitkan pamphlet ini, ia terlebih dahulu pergi ke Roma untuk berdiskusi dengan Paus Leo ke XIII. Dalam pamflet tersebut Uskup Scalabrini berusaha memberikan penekanan terhadap kedua istilah diatas. Intransigen adalah orang orang yang loyal terhadap Paus dan mereka bahkan rela mati demi Paus. Sedangkan Transigen lebih melihat bahwa taat kepada Paus adalah juga penting namun dalam arena tertentu perlu didiskusikan terlebih dahulu. Pamphlet ini menjadi pemikiran awal tentang penyatuan ide dan pandangan tentang rekonsiliasi antara Negara Italia dan kepausan. Menurut uskup Scalabrini, dengan penyatuan Italia, pemeritah dan semua orang Italia dapat memperhatikan saudara-saudara mereka yang menjadi migrant di luar negri.
3.2.4. Pamflet Yang Menggemparkan Dipublikasikan
Pada bulan Desember 1885, pamflet di terbitkan dihadapan publik dengan nama penerbit yang disembunyikan. Tulisan ini membawa kebingungan bagi banyak orang dan membangkitkan pertanyaan serta diskusi dalam masyarakat Italia. Penerbitan pamflet tersebut menimbulkan perdebatan yang hangat terutama mengenai kedua istilah yang digunakan. Banyak pendapat yang melihat bahwa intransigen adalah sebuah pemikiran yang kaku, tidak memiliki kontribusi yang positif, dan tidak ada sesuatu yang menghidupkan. Di pihak lain, transigen terbuka bagi sebuah diskusi publik dan perdebatan.
Gereja berani terjun ketengah-tengah masyarakat dan bekerjasama dengan pemerintah. Dalam pertemuan antara keduanya terjadi dialog dengan mengedapankan ide-ide positif yang mampu membangun masyarakat. Di pihak lain adapula hal-hal yang tidak perlu didiskusikan seperti doktrin dan ketaatan kepada Paus. Pada akhirnya Gereja dan Negara saling berpegangan tangan, bekerja sama membangun Negara, menjaga moralitas dan keharmonisan antara hukum dan agama.
3.2.5. Ketenaran Paus Leo XIII
Berkat selebaran yang dikeluarkan, kini Paus Leo XIII berani melangkah maju. Dalam ensikliknya “Rerum Novarum,” ia berjuang mempertahankan hak-hak kaum pekerja. Ia menekankan pentingnya wakil-wakil katolik dalam legislatif untuk mencegah Undang-Undang yang bertentangan dengan ajaran agama Katolik. Dalam ensiklik tersebut, Paus memberikan perhatian yang khusus terhadap orang-orang yang menderita di tangan majikan yang memberikan upah yang tidak sesuai. Paus masuk dalam dunia politik bersama dengan uskup Scalabrini. Di sini dapat dilihat bagaimana Uskup Scalabrini berjuang demi menghasilkan Undang-undang yang dapat melindungi hak-hak para imigran.
3.2.6. Uskup Scalabrini Dibawah Serangan Hebat.
Uskup Scalabrini sudah mengetahui lebih dahulu mengenai apa yang akan ia terima setelah penerbitan pamflet anonim tersebut. Serangan demi serangan datang menghampirinya dan kebanyakan datang dari kalangan katolik. Banyak kalangan menuntut agar nama orang yang berada dibalik pamflet tersebut dikeluarkan. Uskup Scalabrini memilih untuk diam. Tahta Suci dalam hal ini Paus Leo XIII juga memilih untuk tidak membuka mulut mengenai hal tersebut. Paus Leo XIII memberikan kewenangan kepada Uskup Scalabrini karena ia tahu bahwa uskup Scalabrini mampu mengatasi semuanya sebagaimana yang ia lakukan terhadap para imam di keuskupannya.
3.2.7. Pemilihan Umum Tahun 1886
Tahun 1886 merupakan tahun pemilihan umum. Pada saat itu, orang-orang katolik tidak diperbolehkan untuk ikut ambil bagian dalam pentas politik. Paus sendiri belum berani bertindak dan sekali ia mengambil langkah maju, kaum anti klerus mulai meragukan motivasinya. Paus bersama uskup Scalabrini mulai berpikir mengenai apa yang akan terjadi bila orang-orang katolik terus dilarang untuk ambil bagian dalam setiap pemilihan. Di keuskupannya sendiri, jumlah pemilih terus bertambah. Larangan dari Vatikan hanya akan melukai citra Geraja dan menyakiti hati umat. Bagi Uskup Scalabrini, kita tidak mungkin memiliki undang-undang yang baik jika kita tidak memiliki jumlah anggota parlemen yang memadai. Jika kita tidak bertindak maka orang-orang akan bertindak tanpa kita bisa melawannya. Biarlah mereka menuduh kita melakukan hal-hal duniawi, tuduhan yang sama juga pernah ditujukan kepada Yesus jauh sebelum kita.
Paus Leo XIII tahu bahwa setiap langkah yang diambil pasti akan mendapat penghakiman publik. Paus berdiskusi secara pribadi dengan beberapa Uskup dan meminta mereka untuk melakukan pemilihan secara rahasia dan hasilnya adalah banyak politisi Katolik yang duduk di parlemen. Anti klerus menyerang Paus habis-habisan. Berkat usaha tersebut juga, uskup Scalabrini berhasil mengantar para politisi katolik ke kursi parlemen. Ia sendiri juga diserang oleh media dan para uskup yang tidak terlibat dalam diskusi pribadi bersama Paus. Uskup Scalabrini merasa betapa pahitnya tuduhan yang dilancarkan kepadanya. Namun pada akhirnya, pemerintahan yang etis dan dirindukannya pun berhasil di bentuk dan menampakan benih-benih yang baik.
3.2.8. Kedewasaan Seorang Uskup
Uskup Scalabrini kini telah tumbuh menjadi seorang Uskup yang matang dan dewasa. Ia telah melewati berbagai macam tantangan dan cobaan yang mewarnai perjalanannya sebagai uskup di keuskupannya. Uskup Scalabrini bersama Paus Leo XIII bergandengan tangan untuk merubah sejarah dan menyembuhkan segala luka yang telah menyakiti gereja dan rakyatnya.
Perhatian dan kepekaan lain dari uskup Scalabrini yang menujukkan kedewasaannya sebagai seorang uskup adalah perhatiannya terhadap masalah migrasi pada waktu itu. Uskup Scalabrini menjadi sosok uskup yang berani menghadapi problem migrasi masa itu. Dengan bermodalkan berbagai pegalaman yang pernah ia alami dalam menghadapi tantangan dan kesulitan, ia tidak ragu lagi untuk segera bertindak demi menyelematkan jiwa-jiwa umatnya yang tersebar di berbagai belahan bumi. Matanya menjadi lebih terbuka terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi dan memilih untuk memfokuskan diri untuk menolong mereka.
BAB IV
SCALABRINI PENDIRI KONGGREGASI UNTUK PARA MIGRAN (SCALABRINIAN)
4.1.PENDAHULUAN
Abad Sembilan belas dikenal dengan abad pembaharuan di dunia barat dan Eropa khususnya. Kemajuan di bidang ilmu dan teknologi membantu pertumbuhan dan perkembangan manusia barat dalam hal pemikiran dan kehidupan ekonomi. Akan tetapi kemajuan ilmu dan teknologi ini juga membawa dampak negative bagi manusia itu sendiri. Kemajuan teknologi membawa suatu pemisahan baru dalam masyarakat. Kemajuan teknologi dengan sendirinya menciptakan suatu jurang yang sangat jelas antara miskin dan kaya, kuat dan lemah. Kepemilikan modal dan ilmu pengetahuan menghilangkan rasa kemanusiaan di antara sesama masyarakat Eropa.
Hal serupa tidak terhindarkan di Negara Italia. Negara yang pada abad 19 dikenal dengan konflik antara Negara dan Gereja. Negara yang dilatarbelakangi oleh ide sosialisme Marxisme berhasil menelanjangi Gereja dan merampas semua kekayaan Gereja. Hal ini kita dapat membuktikannya dalam sejarah Italia yaitu pada tanggal 18 Juli 1870, Gereja (Konsili) mendeklarasikan infalibilitas (paus tidak keliru) dalam hal iman dan moral. Menanggapi hal ini pada tanggal 20 September 1870, dua bulan sesudah pendeklarasian infalibilitas Paus dalam hal iman dan moral, pihak Negara yang saat itu dipimpin oleh raja Victor Emmanuel merampas Roma dan sisa-sisa dari Negara kepausan; kepausan mundur kedalam posisi perlawanan pasif dari suatu Negara yang baru. Namun banyak usaha dari gereja untuk melawan, paus-paus menolak untuk meninggalkan Vatikan dan mempertahankan kebun-kebun Gereja hingga tahun 1929. (Bishop John Baptist Scalabrini; Father to the Migrants, by Tina deRosa. P. 26).
Gereja dalam hal ini ialah Paus dan para klerus menjadi tidak berdaya. Kekuasaan sementara Gereja hilang, paus bungkam dan sepertinya dikurung dalam tembok vatikan yang adalah harta berharga satu-satunya yang tertinggal. Rupanya pendeklarasian mengenai infalibilitas Paus dalam hal moral dan iman telah membawa kekhawatiran dari pihak pemerintah atau Negara. Peristiwa sejarah yang berpuncak pada tanggal 20 September 1870 ini, telah membawa warna kehidupan Gereja dan Negara Italia khususnya, serta Gereja di seluruh dunia umumnya menjadi tidak harmonis dan bersatu. Perselisihan yang terjadi antara politisi liberal dengan orang-orang katolik Italia berakhir dan mendapat warna barunya pada saat kedua belah pihak bungkam. Dalam kebungkaman ini seakan memberi jedah atau waktu kosong untuk kembali melihat apa yang sedang terjadi di antara mereka. Kebungkaman seolah memberi celah bagi keduanya untuk bercermin pada diri sendiri. Dengan kebungkaman ini pula yang mengantar mereka pada titik pemahaman dan pengertian serta berani menerima semua perbedaan. Perbedaan yang sebelumnya menjadi biang perselisihan dan konflik, sekarang perbedaan telah menjadi guru yang besar dalam membentuk hubungan Gereja dan Negara baru yang lebih harmonis.
Gereja-gereja di seluruh dunia pun mendapat imbasnya dari konflik antara Gereja dan Negara di Italia. Sulit bagi Gereja di luar Italia untuk memahami konflik ini. Membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk mengerti mengapa Gereja Italia saat itu ditelanjangi oleh Negara mereka sendiri. Hilangnya tanah-tanah Negara kepausan dan dilucutinya semua kekuasaan duniawi Gereja, menyebabkan Paus Pius IX menolak untuk mengakui pemerintahan baru Italia. Beliau melarang semua orang Katolik di Italia untuk mengambil bagian dalam pemilu-pemilu nasional dengan alasan apapun. Negara, dengan kekuatan-kekuatan antiklerus tahu kelemahan Gereja. Dengan menyerang kepemilikan-kepemilikan Gereja atas tanah; Gereja Italia telah dilumpuhkan secarah telak.
Perselisihan ini memang tidak melibatkan masyarakat kecil dan sederhana secara langsung. Namun dampak dari konflik ini sudah pasti masyarakat kecil yang menjadi tempat sampah yang mana semua sampah konflik tertuju ke sini. Kesulitan ekonomi, kurangnya lapangan kerja, kegagalan panen, dan juga semua bencana alam lainnya turut memperkeruh situasi masyarakat kecil dalam mendapatkan sesuap nasi dan setegug air. Masyarakat kecil umumnya tidak mengerti doktrin yang rumit mengenai infalibilitas paus. Pertanyaan-pertanyaan spontan keluar dari hati dan mulut mereka yang sederhana; “mengapa doctrine ini diumumkan persis sebelum Negara kepausan dirampas?”. Masyarakat kecil pada umumnya terluka dengan perselisihan antara Gereja dan Negara baru yang memakan waktu kurang lebih enam puluh tahun ini. Kekisruhan politik, Gereja yang terluka, bencana-bencana alam seperti kekeringan dan kemiskinan bercampur menjadi satu; seakan memaksa masyarakat Italia masuk dalam kebingungan yang dasyat. Siapa yang dapat bertahan dalam situasi seperti ini?
Salah satu langkah yang dapat diambil dari masyarakat kecil Italia ialah mengemas barang-barang mereka yang jumlahnya sedikit dan berangkat ke negeri yang menurut keyakinan mereka adalah tanah yang telah dijanjikan bagi mereka. Mereka yakin hal yang sama terjadi pada mereka seperti yang terjadi dengan umat Israel dalam kitab suci yang mereka baca atau yang mereka dengar dari guru agama mereka. Kebanyakan dari penduduk ini adalah orang-orang kecil dan sederhana. Para petani yang tidak dapat mencukupi hidup mereka dengan hasil yang mereka peroleh dari kebun mereka yang kecil dan tandus. Mereka menjalani hidup mereka dengan sangat sederhana. Mereka mengerti isu-isu kehidupan dalam kesederhanaan mereka sama seperti mereka memetik sayur dari ladang kecil mereka.
Bangsa Italia mulai menemukan jalan keluar dengan mengikuti dan memasukan diri mereka dalam arus migrasi. Negara yang di tuju bagi mereka adalah Amerika serikat. Mereka memilih Amerika serikat sebab banyak dari bangsa Italia yang telah lebih dahulu bermigrasi mendapat hidup yang baik di sana. Mereka menyaksikan dengan mata mereka bahwa sebagian besar yang pulang dari Amerika mendapat hidup yang baik. Maka karena dorongan seperti inilah memacu masyrakat kecil Italia untuk bermigrasi ke Amerika ketimbang hidup di daerahnya sendiri yang penuh dengan peselisihan. Bangsa Italia mulai masuk dalam catatan sejarah dunia Eropa karena aktivitas migrasi ini. Munculnya ceritera-ceritera positif mengenai Amerika membuat masyarakat sederhana berbondong-bondong turun dan naik gunung menuju pelabuhan. Pelabuahan adalah tempat bagi mereka berkumpul untuk membagi ceritera hidup mereka. Berbagai suka dan duka hidup diseringkan di sini dan menanti perubahan di dunia seberang. Anak menangis karena lapar, berbagai pemeriksaan yang memakan waktu yang cukup lama seakan memaksa mereka untuk menitihkan air mata. Air mata kerinduan akan kampung halaman mereka. Melambaikan tangan kepada kampung halaman tanpa mengarahkan pandangan.
Peristiwa-peristiwa yang membingungkan di italia telah menegarkan hati mereka untuk memasang punggung pada tanah air mereka. Kemiskinan, kebingungan pada pemerintahan yang baru dan kebingungan di dalam Gereja menguatkan langkah untuk berpindah. Mereka tidak pernah berpikir akan apa yang akan mereka alami di negeri asing nanti. Mereka terjun dalam dunia yang mempunyai bahasa mereka sendiri. Bahasa yang tidak pernah mereka jumpai di kampung halaman mereka. Dalam situasi seperti ini mereka dengan gampang dieksploitasi secara tidak manusiawi. Mereka harus mulai dari titik nol di negara baru. Kerja keras, sakit karena penyakit dan bahkan akhirnya meninggal tanpa suatu penghiburan dari orang-orang yang mereka cintai. Tidak ada kata pengharapan dari seorang imam seperti apa yang mereka alami di negri mereka di Italia. Bukan hanya itu, perjalanan menuju ke negeri baru memakan waktu dan korban. Dimuat dalam kapal seperti binatang, dibuang ke dalam laut apabila ada yang meninggal tanpa upacara penguburan, tanpa hiburan; dan hal ini menciptakan trauma-trauma baru dalam hidup mereka.
Para sosiolog menulis pada tahun 1880-an bahwa mayoritas imigran Italia khususnya yang berasal dari Italia selatan membentuk suatu gelombang yang besar untuk bermigrasi ke Amerika. Di Amerika mereka tidak mendapat suatu perubahan yang besar seperti yang mereka harapkan. Seperti pepatah tua mengatakan “takut lumpur lari ke duri”. Seolah-olah mereka berpindah dari satu penderitaan ke penderitaan yang lain. Mereka meninggalkan negri yang menolak untuk memperhatikan mereka menuju negri yang memperhatikan mereka hanya sebelah mata. Mereka meninggalkan kemiskinan dan penderitaan yang telah biasa di negeri mereka disambut terbuka oleh penderitaan dan diskriminasi yang baru. Tidakadanya kesatuan di antara orang Italia membuat mereka semakin migran di antara mereka sendiri.
Para sosiolog berkata bahwa para migran sebelah selatan Italia adalah korban-korban kebengisan dari orang-orang mereka sendiri yang telah berbalik melawan mereka. Sedangkan orang-orang Italia Utara yang bermigrasi lebih dahulu mendapat keberhasilan di Amerika. Sebab mereka lebih mudah diterima ke dalam masyarakat Amerika. Mereka ini pada umumnya ialah pedagang dan saudagar. Mereka lebih cocok dan menyelinap dengan mudah kedalam sistem ekonomi negara Amerika. Mereka ini tidak dipaksa untuk bermigrasi ke Italia. Sedangkan para migran yang berasal dari Italia Selatan menemui realitas yang berbeda. Sebagian besar dari mereka dipaksa untuk bermigrasi ke Amerika. Munculnya perekrutanpara migran secara gelap, serta sistem padron atau sistem bos di Amerika membuat kaum migran Italia menjadi semakin melarat dalam kemiskinan. Pajangan-pajangan iklan menawarkan pekerjaan dalam bahasa yang tidak mereka mengerti dan upah yang rendah membuat mereka tidak dapat keluar dari penderitaan hidup.
4.2.UPAYA DARI USKUP PIACENZA, “MENDERITA BERSAMA UMATNYA YANG HILANG”
4.2.1. Bagi Scalabrini Milan adalah Galileanya
Realitas migrasi di Italia (wilayah keuskupan Uskup Scalabrini) muncul sebelum Scalabrini menjadi seorang uskup. Ketika Scalabrini menjadi uskup, fenomena migrasi telah mencapai dan menjadi titik pusat perhatian semua pihak di Italia khususnya. Migrasi menjadi ajang kehidupan dan juga kematian baru bagi umat manusia. Tahun-tahun awal migrasi memaksa para migran untuk menderita karena kekurangan dan ketidakperhatian dari pemerintah dan sesamanya. Salah satu fenomena manusiawi terjadi pada diri Scalabrini. Ketika suatu hari ia melintasi satasiun di Milan; Scalabrini melihat dengan mata-kepalanya sendiri bahwa umatnya telah meninggalkan tanah leluhurnya dan dengan ratapan perih meuju Amerika. Tangisan anak-anak yang berharap pada orang tua; ratapan sang istri karena harus berpisah dari sang suami dalam perjalanan; lesunya wajah sang suami menerima kenyataan hidup yang harus dijalani; telah membanjiri stasiun Milan dengan jutaan tangisan perasaan manusia Italia pada saat itu.
Pengalaman Uskup Scalabrini di Stasiun Milan benar-benar menyentuh hatinya yang paling dalam. Pengalaman itu selalu membangunkan sang uskup dari tempat tidurnya untuk berbuat sesuatu untuk umatnya yang bermigrasi. Pengalaman stasiun Milan seolah terus membebani pundak Scalabrini dengan jutaan ton jeritan kemanusiaan. Hal ini nyata dalam tulisan tanganya pada buku pertamanya “concerning the problem of ‘The Italian Emigration to America”:
In Milan, several years ago, I witnessed a scene that left a sad impression in my heart. There were three or four hundred poor peasants…they were emigrants…Some of those people had been called by relatives who had preceded them into voluntary exile, while others were leaving without knowing exactly where they were headed…they were going to America. They had heard it said repeatedly that well-paying jobs were available there to anyone with strong arms and good will.”
Sebagai seorang uskup dan juga Gembala bagi umatnya, Scalabrini melihat dan merasakan pula derita yang harus ditanggung umat gembalaannya. Scalabrini mengambil fenomena ini menjadi dasar dari permenungan harian di keuskupannya. Scalabrini menjadi orang yang paling pertama merefleksikan fenomena migrasi sebagai sebuah fenomena kepedulian terhadap sesama dan sebagai jawaban atas panggilan kasih Allah. Fenomena di Stasiun Milan memaksa Scalabrini harus berbuat sesuatu atasnya. Stasiun Milan menjadi “Galilea” bagi Uskup Scalabrini. Pandangan pertama terhadap penderitaan kaum migran menggerakan jiwa dan raga Scalabrini untuk bertindak lebih dari melihat dan merasakan. Bertindak menjadi spiritualitas Scalabrini saat itu. Scalabrini menggaungkan suaranya kepada seluruh imam di keuskupannya untuk keluar dari sakristi dan berjalan bersama fenomena hidup umat di samping mereka. Scalabrini menyuarakan kepada manusia pada zamannya untuk memperhatikan sesamanya yang akan bermigrasi ke tanah rantauan. Perhatian yang Scalabrini maksudkan bukan hanya terfokus pada aspek spiritual tetapi juga memperhatikan aspek fisikal.
Scalabrini juga menyadari bahaya yang akan dihadapi umatnya di tanah rantau. Eksploitasi dan kendur serta hilangnya iman pada umatnya adalah dua aspek yang direfleksikan oleh Scalabrini. Dua aspek ini menurut Scalabrini disebabkan oleh kurang perhatian dari Gereja dan pemerintah. Di samping itu, Scalabrini yakin bahwa pemerintah luar negri hanya mengambil keuntungan dari segi ekonomi bagi negaranya serta mengindahkan aspek sosial dan manusia dari fenomena migrasi ini. Pemerintah penerima migran Italia tidak memikirkan kebutuhan rohani dari para migran dikala mereka menderita dan ingin ke Gereja seperti yang dilakukan orang Italia di negerinya. Hal ini yang menjadi persoalan para migran Italia meninggalkan agamanya.
Dalam situasi seperti ini, Scalabrini dikejutkan lagi dengan panggilan dari kepausan untuk menjadi cardinal dan papal nuncio ke Paris oleh Paus Leo XIII. Scalabrini menolaknya dengan hormat, sebab bagi Scalabrini dengan menerima tugas ini, ia seakan meninggalkan umatnya menderita sendiri. Scalabrini juga mendengar banyak ceritera dari umatnya yang kembali dari Amerika dan juga membaca surat dari umatnya di Amerika yang mengisahkan tentang kesengsaraan dan perihnya hidup sebagai migran. Umatnya hidup dan mati seperti binatang tanpa menerima sakramen apapun. Banyak surat yang ditujukan kepada Scalabrini sebagai Uskup untuk mengirim imam Italia bagi mereka di Amerika. Mereka membutuhkan imam, yang benar memahami bahasa dan adat istiadat mereka. Maka Scalabrini mulai bertindak berawal dari keuskupannya. Scalabrini dalam kunjungan pastoral pertamanya ke seluruh paroki dalam keuskupannya, ia menyaksikan dan mulai belajar tentang kejahatan yang terjadi dalam fenomena migrasi yang terjadi dalam umatnya. Kurang lebih dua puluh delapan ribu orang dalam keuskupannya bermigrasi. Maka di akhir kunjungannya, Scalabrini memutuskan untuk lebih teliti melihat fenomena migrasi di keuskupannya sebagai sebuah panggilan dari Tuhan bagi sesama. Dari hasil kunjungannya Scalabrini juga mengetahui penderitaan atau pelanggaran yang terjadi dalam fenomena migrasi yang ada di keuskupannya. Migrasi bukan hanya membawa kesuksesan bagi para migran tetapi sebagian besar membawa kesulitan baru bagi para migran khususnya para migrant yang sederhana. Fenomena migrasi yang terjadi di Italia menurut Scalabrini adalah fenomena yang memiliki kompleksitas kehidupan seperti kemanusiaan, sosial, dan yang terpenting ialah agama. Sekilas pemandangan di Milan telah menyentuh kemanusiaan uskup Scalabrini untuk turut merasakan kesedihan umatnya. Milan adalah tempat perdana bagi Scalabrini yang membuka mata hatinya kepada wajah Kristus dalam realitas yang sesungguhnya. Kristus telah menampakkan dirinya kepada Scalabrini agar Scalabrini memberikan jubah uskupnnya kepada yang telanjang.
Terlepas dari perasaan manusiawi Uskup Scalabrini; kita juga harus mengetahui bahwa fenomena migrasi bangsa Italia pada era Scalabrini mencapai peningkatan yang sangat besar. Peningkatan ini bertepatan dengan penyatuan di Italia. Dari tahun 1869 sampai 1878 angka tetap migrant yang tercatat kurang lebih 20.000 per tahun. Namun angka ini akan meningkat tajam hingga mencapai 80.000. Di tahun 1879 angka migrant yang tercatat mencapai dua kali lipat dari angaka sebelumnya. Tahun 1981 perpindahan penduduk Italia ke luar negri (Amerika) mencapi angka yang sangat menonjol yaitu 135,832 orang. Melihat fakta yang ada, pemerintah kelihatannya berusaha melimpahkan kesalahan kepada kaum kapitalis dan para pengusaha dengan dalil tidak memberikan lapangan kerja baru. Pemerintah juga berusaha untuk membatasi kebebasan untuk bermigrasi. Langkah yang diambil oleh pemerintah ialah menekan agar tidak terjadinya praktek rekrutan gelap untuk menjadi migrant, namun para pemilik rekrutan gelap terus meningkat setiap tahun dengan pelbagai cara yang sangat licik. Dalam jangka waktu yang lama pemerintah masih menggunakan langkah ini daripada perlindungan bagi para migrant dan langkah ini kelihatannya tidak tepat atau kena di hati para migrant kecil. Sementara itu angka para migrant terus meningkat setiap tahunnya.
4.2.2. Scalabrini beraksi, mengulurkan tangannya kepada yang papa.
Pada tahun 1887, Scalabrini mulai bergerak secara diam-diam. Scalabrini mengetahui situasi yang terjadi. Fenomena migrasi yang terus meningkat dan membuang umat keuskupanya ke negri yang jauh, memaksa Scalabrini harus berbuat sesuatu. Pandangan-pandangannya tentang migrasi terlihat dalam berbagai media. Ia menulis sebuah pamphlet di surat kabar Amerika tentang migrant Italia di Amerika pada tahun yang sama. Dan pada tahun yang berikutnya Scalabrini menulis surat terbuka kepada sekretaris keuangan Paulo Carcano, yang terdiri dari 60 halaman tentang proposal atau rancangan undang-undang untuk para migrant Italia. Antara tahun 1891-1892, Scalabrini mulai secara aktif memberikan ceramah dan seminar-seminar tentang migrasi dan pada akhirnya ia dapat membangkitkan opini masyarakat tentang fenomena migrasi sebenarnya. Scalabrini juga masuk dalam arena politik walaupun tidak secara langsung dan mengundang perhatian dari kaum relligius lainnya.
Dalam situasi yang kurang memungkinkan bagi seorang religius untuk bergerak di arena politik; Scalabrini mulai bergerak secara politis dengan menerbitkan tulisan tentang “transigent dan intransigent” dengan tidak mencantumkan nama penulisnya. Tulisan ini membawa kebingungan bagi banyak orang dan membangkitkan pertanyaan serta diskusi dalam masyarakat Italia. Namun sebelum ia menerbitkan pamphlet ini, ia terlebih dahulu pergi ke Roma untuk berdiskusi dengan Paus Leo ke XIII. Dan pamphlet ini menjadi pemikiran awal tentang penyatuan ide dan pandangan tentang rekonsiliasi antara Negara Italia dan kepausan. Menurut Sacalabrini, dengan penyatuan Italia, pemeritah dan semua orang Italia dapat memperhatikan saudara-saudara mereka yang menjadi migrant di luar negri.
Di awal tahun 1887 tepatnya pada tanggal 11 Januari, Scalabrini mengirim surat pertamanya kepada Kardinal Simeoni, Perfect dari konggregasi propaganda Fidei, dengan sebuah proposal untuk mengirim misionaris bagi para migrant Italia di Luar negri. Dalam surat itu Scalabrini melampirkan ceritera kesengsaraan umatnya di negeri Amerika, di mana umanya menjalani hidupnya seperti binatang. Maka sebagai tanggapan, pada tanggal 13 Frebuari pada tahun yang sama kongregasi propaganda Fidei menerima proposal dari Uskup Scalabrini untuk melayani para migrant serta meminta Scalabrini sendiri untuk menjelaskan tentang hal ini. Masih pada tahun, bulan yang sama, tanggal 16; Scalabrini mengirim sebuah outline kepada Propaganda Fidei untuk sebuah “Assosiasi untuk kebutuhan spiritual dari para migrant Italia di Amerika”. Ia juga mendirikan sebuah komite di Piacenza untuk melindungi para migran dan di beri nama “perkumpulan atau perhimpunan St. Rafael pada tanggal 12 April 1889. Perkumpulan ini kebanyakan terdiri dari kaum awam, dan ditugaskan pada setiap pelabuhan keberangkatan para migran Italia ke luar negri untuk melindungi mereka dari eksploitasi.
Pada tanggal 9 November tahun yang sama, Scalabrini mulai berinisiatif untuk mendirikan sebuah institusi baru untuk para migrant. November 14, 1887 dalam pertemuannya dengan secretary dari Propaganda Fidei bersama Paus Leo XIII menyetujui untuk berdirinya institusi baru oleh Uskup Piacenza (Scalabrini), guna melayani kebutuhan rohani para migrant di Amerika. Maka hari berikutnya bersamaan dengan diterbitkannya Libenter agnovimus, Paus menyetujui Scalabrinian Institusi untuk para migran. Sebagai puncaknya pada tanggal 28 November 1887, sekitar pukul 11:00, di Basilica St. Antonius; Scalabrini mendirikan dua kongregasi religius (imam dan bruder), untuk melayani kebutuhan iman dan sosial dari para migran. Pada hari yang sama Scalabrini menerima dua imam perdana dalam institusinya yaitu Rev. Giuseppe Molinari dan Rev. Dominico Matese; dan mereka menerima kaul pertamanya bersama dengan superior perdana mereka Msgr. Domenico costa. Pada tahun 1895, Scalabrini juga mendirikan kongregasi bagi kaum perampuan. Dua konggregasi ini sekarang lebih dikenal dengan nama Misionaris St. Charles Boromeo atau SCALABRINIANS.
4.3.SCALABRINIANS DAN “YANG BERBEDA”
Waktu seakan mengalir terus tanpa disadari oleh manusia yang menamakannya. Butiran-butiran kehidupan tercipta dan tercatat dalam sejarah umat manusia. Kepedihan, keindahan hidup manusia digoreskan dalam seruas buku bambu yang dinamakan sejarah. Migran Italia yang dahulu menderita memacu sesama migran lainnya untuk merentangkan tangan penolong bagi mereka. Scalabrini yang adalah seorang sederhana dan uskup bagi keuskupan Piacenza, merentangkan tangannya sendiri dengan mendirikan konggregasi yang secara khusus mendedikasikan dirinya bagi para migran. Pada awalnya pelayanan Scalabrinian memang hanya berfokus pada migran Italia, sebab sesuai dengan konteks Scalabrini waktu itu; namun dengan perkembangan zaman dan waktu telah memaksa konggregasi ini merentangkan tangannya bagi seluruh umat manusia di dunia ini. Sebab semua kita adalah migran. Migran adalah jiwa Scalabrinians.
Hidup di era kontemporer memaksa kita untuk terbuka bagi semua perbedaan. Semua perbedaan adalah keunikan yang indah. Bukankah pelangi yang indah tersusun dari aneka warna dunia? Sebagai penutup goresan singkat ini izinkan penulis mengutip pernyataan Scalabrini tentang fenomena migran;
“In fact, by blocking emigration, we are violating a sacret human right; and by leaving it to itself, we are making emigration ineffectual…” … A theoretical on wether emigration is good or bad is a waste of time at this point. For my purpose, the important thing is that emigration exist… (SCALABRINI A LIVING VOICE),p. 380
BAB V
SAAT-SAAT AKHIR KEHIDUPANNYA
5.1 Surga Sebagai Tempat Yang Pantas Untuk Beristirahat
Uskup John Baptist Scalabrini merupakan seorang pekerja keras yang tanpa mengenal lelah. Tanggung jawabnya yang besar sebagai uskup ditengah begitu banyak pergolakan sosial yang terjadi tidak membuat uskup Scalabrini merasa terbeban dan menyerah. Justru di tengah semua tantangan itu, uskup Scalabrini semakin kuat bertahan dan bekerja lebih keras lagi. Tanggung jawabnya sebagai uskup dijalaninya dengan sangat baik di mana dia melakukan kunjungan ke semua parokinya, mengembangkan metode katekese yang baru bagi anak-anak, setia dan penuh iman dalam mengikuti atau merayakan ekaristi, sabar dalam mendengarkan pengakuan dosa dari umatnya walaupun sampai tengah malam, dan sebagainya. Selain itu, tanggung jawab dan kerja keras uskup Scalabrini bukan hanya dalam kapasitasnya sebagai uskup Piacenza, tetapi juga dalam hal kepekaan sosialnya. Ia bekerja lebih keras lagi untuk membantu para migran Italia yang terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka demi menggapai kehidupan yang lebih baik di benua Amerika.
Semua tanggung jawab yang diembannya dilakukannya dengan sangat baik, namun semuanya itu turut menjadi penyebab sakit yang dideritanya pada akhir-akhir hidupnya. Kunjungan ke semua paroki di keuskupannya dan kunjungan ke tempat-tempat para migran Italia di Brasil dengan hanya menunggang kuda membuat uskup Scalabrini mengalami sakit yang luar biasa pada organ vitalnya (hydrocele). Sakit yang luar biasa ini pada dasarnya sudah dirasakannya sejak lama, namun uskup Scalabrini bukanlah tipe orang yang suka mengeluh. Berhadapan dengan penyakit yang dideritanya, ia mendiamkan saja. Dia tidak mau merepotkan banyak orang. Dia malahan mempersembahkan rasa sakitnya itu sebagai bentuk partisipasinya dengan penderitaan Kristus. Ia menerima semua penyakit dan rasa sakit yang dideritanya itu dengan sabar dan tenang. Selain itu, ia juga tidak mau kalau penyakit yag dialaminya akan mengganggu semua jadwal yang telah disusunnya.
Sebenarnya sudah pantas bagi uskup Scalabrini untuk beristirahat dan memulihkan kesehatannya, apalagi dalam usianya yang sudah enam puluhan dan ditengah sakit yang membuatnya menderita. Namun, uskup Scalabrini menolak untuk hanya beristirahat. Ia mengatakan kepada mereka yang ada di sekelilingnya bahwa hidupnya bukanlah tempat untuk tidur atau bermalas-malasan. Tempat istirahat yang pantas untuknya hanya keabadian yang akan dialaminya. Bagi uskup Scalabrini, usahanya yang keras walaupun hanya mendapat satu orang kembali kepada Kristus lebih bernilai artinya ketimbang segala hal lain yang hanya menyenangkan dirinya sendiri. Perjuangan dan pengorbanannya demi semua orang yang mau kembali kepada Kristus membuat Uskup Scalabrini rela menderita entah karena penyakit yang dialaminya maupun karena tantangan yang selalu datang dari luar.
5.2 Isu Miring Tentang Uskup Scalabrini Dan Kunjungannya ke Brasil.
Empat tahun sebelum kematiannya dan setelah kunjungannya dari Amerika Serikat (1902), di Italia beredar gosip baru tentang uskup Scalabrini. Dikatakan bahwa uskup Scalabrini akan diangkat menjadi Kardinal Ravenna. Berita ini tersebar luas di Italia dan akhirnya uskup Scalabrini mengetahuinya. Namun uskup Scalabrini yang dikenal sebagai orang yang rendah hati dan memiliki sifat yang teguh, menolak keras berita tersebut dan bahkan tidak memperbincangkan hal tersebut dengan sekretaris yang dipercayainya. Uskup Scalabrini tidak ingin kalau gosip tersebut pada akhirnya hanyalah fitnah dan isu belaka. Berhadapan dengan berita yang tidak benar tersebut, uskup Scalabrini menyibukan dirinya dengan hal lain seperti melakukan kunjungannya yang kelima dan terakhir ke paroki-paroki di keuskupannya.
Satu tahun kemudian, pada tanggal 4 Agustus 1903, Paus Leo XIII meninggal dunia dalam usia sembilan puluh tiga tahun dan Paus Pius X menggantikannya. Menjelang akhir tahun 1903, beredar gosip lain lagi tentang uskup Scalabrini. Kabar baru tersebut mengatakan bahwa uskup Scalabrini akan diangkat menjadi Patriarka Venice. Kali ini pun uskup Scalabrini menentang keras berita tersebut. Uskup Scalabrini bahkan menyebut berita tersebut sebagai gosip yang mengganggu, mengacaukan, sinting, dan bahkan sebagai suatu bentuk penghinaan. Uskup Scalabrini benar-benar tidak menyukai gosip atau berita yang tidak benar tentang dirinya beredar. Uskup Scalabrini hanya ingin kalau kebenaran yang menjadi berita, bukannya gosip.
Selain menentang berita yang tidak benar ini, uskup Scalabrini menyibukan dirinya dengan dengan hal-hal lain yang lebih penting termasuk melakukan kunjungannya ke Brasil pada 17 Juni 1904. Kunjungannya ini sangatlah melelahkan dan memperparah penyakit yang dialami uskup Scalabrini. Perjalanannya ke Brasil yang hanya menggunakan kapal laut sangatlah melelahkan karena memakan waktu yang cukup lama. Namun ditengah kelelahan tersebut, uskup Scalabrini mendapat penghiburan lain dimana ia berangkat ke Brasil bersama para migran yang sangat dicintainya. Kebersamaan tersebut digunakannya untuk melayani kebutuhan rohani mereka. Ia merayakan misa, mendengarkan pengakuan, melakukan katekese, dan sebagainya bersama para migran. Uskup Scalabrini menulis dalam buku hariannya bahwa “kapal telah tampak berubah menjadi biara.”
Uskup Scalabrini menemukan kebahagiaan tersendiri di tempat tersebut, namun setelah sampai di Brasil dan melakukan kunjungan ke tempat-tempat para migran Italia keadaannya semakin parah. Sebenarnya pertemuannya dengan para migran Italia yang dicintainya memberikan kebahagiaan tersendiri bagi uskup Scalabrini. Namun, perjalanan yang melelahkan dengan hanya menunggang kuda membuat penyakitnya semakin bertambah parah. Namun uskup Scalabrini tidak mengeluhkan penyakitnya kepada siapapun. Dia mendiamkannya dan menuntaskan kunjungannya sampai akhirnya kembali ke Piacenza, keuskupan yang dicintainya.
5.3 Persiapan Uskup Scalabrini Sebelum Kematian Menjemputnya
Bagi setiap orang Kristen, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanya merupakan suatu peralihan. Dikatakan demikian karena orang beriman kristiani percaya bahwa sesudah kematian akan ada kehidupan kekal. Kehidupan kekal merupakan kehidupan yang diharapkan dan dinantikan oleh setiap orang Kristen karena di sana umat beriman akan menikmati kehidupan bersama Allah Bapa dan semua orang kudus. Namun, untuk masuk kehidupan kekal bukanlah tanpa perjuangan. Untuk masuk kehidupan kekal, setiap orang harus menunjukkan sikap hidup yang pantas dan berkenan dihadapan Allah. Selain itu, setiap orang pun harus memiliki suatu intimasi atau rasa persatuan dengan Allah. Status sebagai orang Kristen tidaklah semata menjadi jaminan untuk masuk kehidupa kekal. Kehidupan kekal yang dinantikan membutuhkan perjuangan dan persiapan.
Demikianlah adanya yang terjadi pada diri uskup Scalabrini. Uskup Scalabrini sudah melakukan banyak hal yang berkenan dihadapan Allah dan untuk kebaikan orang lain selama hidupnya. Namun semuanya itu masih dirasa belum cukup untuk menjalin suatu rasa persatuan dan kedekatan dengan Allah sebelum kematian menjemputnya. Oleh karena itu, pada tahun terakhir hidupnya (1905) dan di saat penyakit yang dideritanya semakin parah, uskup Scalabrini memfokuskan dirinya untuk menjalin kedekatan yang lebih dengan Allah. Seluruh waktunya yang tersisa dihabiskan untuk menjalin kedekatan yang lebih dalam dengan Allah melalui doa yang semakin intens dan penuh iman, melakukan pengakuan dosa sesering mungkin, dan mempersiapkan diri menghadapi dan menerima kematian yang dirasakannya sudah mulai menjemputnya.
Ada banyak kesaksian dari orang-orang yang dekat dengannya bahwa pada bulan-bulan terakhir sebelum kematiannya, uskup Scalabrini tidak takut untuk membicarakan tentang kematiannya. Dikisahkan bahwa pada perayaan misa tahun baru (1 Januari 1905), uskup Scalabrini yang memimpin misa pada saat itu mengatakan dan mengekspresikan dirinya seperti orang yang sudah tahu bahwa kematiannya sudah semakin dekat. Uskup Scalabrini mengatakan bahwa “hari pertama dalam tahun mengingatkan kita akan hari kematian. Setiap orang melakukan perjalanan hidupnya menuju sasaran akhir yang sama yaitu keabadian.” Dikisahkan juga bahwa pada tanggal 21 Mei 1905 uskup Scalabrini melakukan kunjungan pastoral dan memberkati pekuburan di paroki Borghetto di San Lazaro Alberoni. Pastor yang dekat dengan uskup Scalabrini saat itu mendengar sang uskup mengatakan bahwa dia merasa kalau kematiannya sudah semakin dekat. Uskup Scalabrini tidak takut akan kematiannya karena dia mempersiapkan kematiannya dengan matang terutama menyangkut rasa kedekatannya dengan Allah dan rasa damai akan kedekatannya itu.
5.4 Saat-Saat Akhir Mendekati Kematiannya
Setelah kunjungan pastoralnya ke paroki Borghetto, uskup Scalabrini merasa kalau penyakitnya sudah semakin parah dan dia harus beristirahat di tempat tidurnya. Dokter yang menanganinya pada saat itu melihat bahwa panyakit yang dialami uskup Scalabrini sudah sangat parah dan membutuhkan perawatan yang intensif. Penyakit hydrocele yang dialaminya sudah semakin parah dan sang Uskup sebaiknya dioperasi. Uskup Scalabrini menolak usul dan saran dokter serta bujukan dari semua anggota di rumah keuskupannya akan hal tersebut. Namun ketika saudara dan saudarinya datang membujuk dan meyakinkannya, akhirnya uskup Scalabrini menerima usul tersebut dengan berlinangan air mata sambil mengatakan:” Tuhanku, apakah Engkau menginginkan penistaan ini dari diriku juga? Kehendak-Mulah yang terjadi”. Uskup Scalabrini menerima nasehat dokter untuk melakukan operasi sebagai suatu bentuk kerendahan hatinya dihadapan Tuhan.
Sehari sebelum operasinya, uskup Scalabrini melakukan pengakuan dosa dan meminta agar segala sesuatu dipersiapkan sebagai antisipasi kalau dia membutuhkan sakramen minyak suci. Malam sebelum operasi tersebut uskup Scalabrini mempersiapakan sendiri minyak untuk minyak sucinya; dan juga malam itu dia tidak tidur karena ia menghabiskan waktunya untuk berdoa dan melakukan adorasi di kapela pribadinya.
Pada hari minggu tanggal 28 Mei 1905, dokter Carle dari Turin yang dibantu oleh dokter De Orchi dan Marchesi melakukan operasi. Dalam kegiatan operasi ini, ia tidak menginginkan orang lain selain para dokter untuk menyentuhnya atau membantunya. Sebenarnya kegiatan operasi ini mau ditunda karena berlangsung pada hari minggu, namun karena uskup Scalabrini tidak mempersoalkannya maka dijalankan pada hari itu juga. Suatu peristiwa menarik terjadi saat uskup Scalabrini di bawa ke ruang operasi. Kebetulan tempat operasi bagi uskup Scalabrini dijalankan di istana keuskupan juga, maka ketika dia dibawa ke ruang operasi, mereka melewati kapela di mana sakramen Mahakudus ditahtakan. Melihat sakramen Mahakudus, uskup Scalabrini langsung meminta untuk berhenti sejenak dan berdoa dengan penuh iman dan taqwa. Kegiatan operasi berlangsung aman dan lancar. Setelah dioperasi dan uskup Scalabrini kembali sadar, dia mengatakan kalau keadaannya sedikit baik.
Namun pada hari senin, keesokan harinya, keadaannya mulai parah dan detak jantungnya semakin pelan. Sejak saat itu, keadaanya makin hari makin parah sampai pada akhirnya pernapasannya menjadi agak susah sehingga dokter memberikannya pernapasan bantuan menggunakan tabung oksigen. Pada hari rabu, 31 Mei 1905 keadaannya semakin bertambah parah. Pada hari itu, uskup Scalabrini meminta untuk diberikan minyak suci. Dia juga meminta agar roset, salib dan barang penting lain yang diberikan Paus Pius IX dikenakan kepadanya. Selain itu, Uskup Scalabrini juga meminta agar tabernakel dan relikwi dari santo Savino diletakan didepan tempat tidurnya sehingga ia dapat berdoa bersama dengan para imamnya yang ada disekitarnya. Di depan sakramen Mahakudus ini, uskup Scalabrini memberikan banyak pesan. Uskup meminta maaf atas segala kesalahannya, memohon doa bagi dirinya, memberikan berkat dan salam bagi para imamnya, guru-guru dan murid-murid seminari, bagi uskup Bonomelli, dan bagi para misionarisnya. Akhirnya, pikirannya yang tajam dan tegas tampak berkelana. Ia mengingat para imamnya dan mengatakan: “imam-imamku. Dimana para imamku? Biarkanlah mereka datang menemuiku.” Uskup Scalabrini memanggil para imamnya yaitu para misionarisnya yang menjadi penerusnya menangani para migran yang dicintainya. Sisa waktunya pada malam itu dihabiskannya untuk berdoa Rosario dan mengulang kalimat: “kehendak-Mulah yang terjadi.”
Pada pukul enam pagi pada 1 Juni 1905, bersamaan dengan pesta Maria diangkat ke surga, uskup Scalabrini menghembuskan nafas terakhirnya. Kematian bukanlah akhir dari segalanya bagi Sang hamba Allah. Uskup Scalabrini, sang hamba Allah kembali kepada Bapa untuk beristirahat selamanya bersama para malaikat dan para kudus di surga.
5.5 Kematian Seorang Santu
Berita tentang kematian uskup Scalabrini tersebar luas ke seluruh wilayah di keuskupannya bahkan di seluruh Italia. Kematiannya merupakan kedukaan besar bagi semua orang yang pernah mengenalnya termasuk semua orang yang dahulu membencinya. Umat dan banyak orang lain yang mengenalnya datang ke tempat dimana jenasah sang Uskup diletakan. Semua orang berduka. Para migran yang mencintainya juga berduka. Banyak orang melihat kematian uskup Scalabrini sebagai kematian seorang santo.
Pada tanggal 4 Juni 1905, ketika dilangsungkan penguburan sang Uskup, serombongan besar umat datang dari seluruh daerah di keuskupannya. Banyak orang mengatakan bahwa belum pernah terjadi di Piacenza adanya rombongan perarakan sebanyak yang terjadi pada saat itu. Banyaknya umat yang berduka yang datang pada saat itu, membuat perarakan jenasah dari rumah keuskupan menuju ke Kathedral memakan waktu satu setengah jam.
Umat yang hadir pada perayaan penguburan itu tak dapat dihitung. Selain itu, hadir juga pada saat itu tujuh ratus imam, uskup agung Bruni dari Modena, uskup agung Morganti dari Ravenna, uskup Conforti dari Parma, uskup Bandi dari Tortona, uskup Fiorini dari Pontremoli, uskup Sarti dari Guastalla, para religius, para pejabat pemerintahan, para tentara, dan sebagian besar pemimpin wilayah. Yang menjadi pemimpin perayaan misa kematian pada hari itu adalah uskup agung Valfre dari Vercelli. Perayaan kematian uskup Scalabrini bahkan melebihi perayaan kematian pejabat besar di Italia. Seorang kudus telah pergi ke rumah Bapa. Semua orang berduka dan berdoa memohon doanya bagi mereka yang ditinggalkan.
BAB VI
BEATIFIKASI
Gambaran sejarah Kongregasi Scalabrinian kian bertambah setapak demi setapak, perlahan tetapi pasti. Moment-moment berharga dan kudus menenun setiap jalinan cerita sang pendiri untuk dijadikan panduan dan suluh hidup bagi setiap pengikutnya, misionaris-misionaris Scalabrinian yang energetik dan tegar. Satu harapan, setiap moment tak saja untuk dikenang dan dirayakan tetapi lebih sebagai motivasi untuk kian teguh dalam mengkuti Kristus dalam jejak Scalabrini.
Momen yang terpenting dan sangat monumental salah satunya adalah pembeatifikasian Uskup Yohanes Baptis Sacalabrini pada 09 November 1997. Di alun-alun St. Petrus Kota Roma, dihadiri oleh ribua peziarah dari setiap sudut dunia, serta para Imam, Bruder, Suster dan Awam Scalabrinian, Paus Yohanes Paulus II mengumumkan Uskup Yohanes Baptis Scalabrini sebagai Beato dan menetapkan perayaan liturgisnya dirayakan setiap 01 Juni berhubungan dengan hari kamatiannya.
Perjalanan Beatifikasi
a. Pada tanggal 05 Mei 1936 Kongregasi Scalabrinian melalui Uskup Ersilio Menzani di Picenza memperkenalkan latar belakang betifikasi.
b. Pada tahun 1936 – 1940 diadakan perayaan proses beatifikasi di Keuskupan Piacenza
c. Pada 30 Maret 1940 pembukaan proses apostolik di Roma
d. Pada 09 September 1970 dipublikasinya naskah hasil penyelidikan tahap beatifikasi
e. Pada 11 Mei 1982 Paus Yohanes Paulus II menandatangani dekrit atas introduksi proses penyelidikan
f. Pada 25 November 1986 para teologian Consultors melakukakun voting untuk kepentingan maksud beatifikasi
g. Pada 17 Februari 1987 senat Uskup dan para Kardinal menetapkan hasil positif tentang kepahlawananya atas praktek-praktek kebajikan
h. Pada 16 Maret 1987 Bapa Paus secara khidmat mengumumkan terbukti bahwa kebajikan teologikal atas Iman, Harapan, dan cinta di hadapan Tuhan dan sesama dan atas Kardinal Virtue : Kebijaksanaan, Keadilan, Temperance, Keberanian, terdapat kesinambungan dengan dijalankannya praktek-praktek atas kebajikan tersebut oleh Hamba Allah Uskup Yohanes Baptis Scalabrini, uskup Piacenza.
i. Pada 23 Desember 1994 – 5 Juni 1995 Diocesan Process melampirkan introduksi akan adanya mujizat yang diatributkan kepada Uskup Scalabrini
j. Pada tahun 1995 dibukanya proses pengujian akan adanya mujizat di Roma
k.Pada 5 Desember 1996 dikeluarkannya pendapat positif dari komisi para para dokter kepausan
l. Pada 21 Maret 1997 para konsultor teologian melakukan voting atas adanya mujizat melalui perantaraan Uskup Scalabrini
m. Pada 3 Juni 1997 Senat Kardinal menyatakan kebulatan suaranya dan mengakui bahwa “penyembuhan Sr. Paoline, MSCS tidak dapat dijelaskan melalui ilmu kesehatan dan peristiwa itu dapat diatributkan atas perantaraan Yang Mulia Uskup Yohanes Baptis Scalabrini
n.Pada 4 Juli 1997 Paus mengeluarkan dekrit sehubungan dengan pembeatifikasian
o.Pada 9 November acara beatifikasi berlangsung meriah di alun-alun St. Petrus kota Roma.
BAB VIII
DARI ITALIA KE PENJURU DUNIA
Italia, merupakan tempat pertama benih Salabrinian mengembangkan sayap dan cabang misinya ke penjuru dunia. Piacenza tepatnya, menjadi suluh awal, asa mula tumbuh kembangnya kongregasi yang diperuntukkan bagi para migran, pengungsi dan pelaut ini. Bagian ini akan dipertunjukkan secara umum beberapa peristiwa penting terutama yang berkenaan dengan mekarnya semerbak misi kongregasi Scalabrinian ke penjuru dunia.
8.1. Dari Italia
Di Piacenza, Italia, pada 28 November 1887, Uskup Scalabrini membuka sejarah penting dalam tugas perutusan misi Gereja dengan mendirikan kongregasi bagi para migran. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1892, Piacenza ditetapkan sebagai rumah induk kongregasi. Dari sinilah Scalabrinian memulai tugas perutusannya menembus pekatnya isu mobilisasi manusia.
Sepanjang sejarah kongregasi telah mencatat sekian peristiwa penting demi kemajuan misi perutusan Kabar Baik Gereja ke seluruh dunia. Beberapa peristiwa penting tersebut antara lain:
U 1888 : 7 imam dan 3 frater dikirim ke USA dan Brazil
U 1890 : Scalabrinian memulai ladang karyanya di Argentina
U 1908 : Perluasan misi di daratan Amerika ke Canada
U 1936 : Scalabrinian tiba di Prancis
U 1941 : Scalabrinian bermisi ke Jerman ketika PD II sedang berkecamuk
U 1942 : Scalabrinian tiba dan bermisi di Swis – Genewa
U 1946 : Scalabrinian membuka misi di Belgia dan Luxemburg
U 1952 : Scalabrinian untuk pertama kalinya tiba di Australia dan Chili
U 1956 : Scalabrinian tiba di Inggris
U 1958 : Scalabrinian tiba di Venezuela dan Algeria
U 1962 : Scalabrinian tiba di Uruguai
U 1971 : Scalabrinian tiba di Portugal
U 1974 : Scalabrinian tiba di Paraguay dan Puerto Rico
U 1975 : Scalabrinian tiba di Monaco
U 1979 : Scalabrinian tiba di Colombia
U 1980 : Scalabrinian tiba di Mexico
U 1982 : Scalabrinian tiba di Filipina
U 1991 : Scalabrinian tiba di Guatemala
U 1992 : Scalabrinian tiba di Republik Dominikan
U 1994 : Bermisi di daratan Afrika (Mozambik dan Afrika Selatan), Haiti dan Taiwan
U 1999 : Scalabrinian tiba di Bolivia
U 2000 : Scalabrinian tiba di Peru
U 2002 : Scalabrinian tiba di Indonesia
U 2003 : Scalabrinian tiba di Jepang
U 2005 : Scalabrinian tiba di Vietnam
Selain itu dalam kongregasi terdapat tahap pergantian para pimpinan (General Superior) yang berlangsung sejak tahun 1887 sampai saat ini. Di sini ditampilkan para General Superior yang pernah menggembalakan kongregasi:
1. 1887 – 1905 : Mons. Yohanes Baptis Scalabrini
2. 1905 – 1919 : P. Domenico Vincentini
3. 1919 – 1924 : P. Pacefico Chenuil
1924 – 1951 kongregasi berada di bawah wewenang konsistorial
4. 1924 – 1928 : Cardinal Gaetano De Lai
5. 1928 – 1930 : Cardinal Carlo Perosi
6. 1930 – 1948 : Cardinal Raffaelo Rosi
7. 1948-1951 : Cardinal Adeodato Piazza
Semenjak tahun 1951 hingga selanjutnya kongregasi kembali mendapat pengakuan dari kepausan dan rantai kepemimpinan (General Superior) dikembalikan kepada para Scalabrinian dengan jenjang pemilihan yang kemudian dikenal dengan General Chapter, setiap enam (6) tahun.
8. 1951 – 1957 : P. Francesco Prevedello
9. 1957 – 1963 : P. Raffaele Larcher
10. 1963 – 1969 : P. Giulivo Tesarolo
11. 1969 – 1974 : P. Renato Bolzoni
12. 1974 – 1980 : P. Giovanni Simonetto
13. 1980 – 1992 : P. Sisto Caccia
14. 1992 – 2000 : P. Luigi Favero
15. 2001 – 2007 : P. Isaia Birollo
16. 2001 - … : Sergio O. Geremia
8.2. Ke Penjuru Dunia
8.2.1. Scalabrinian dan Pembentukan Calon Imam
Menjadi Scalabrinian harus melewati beberapa tahap penting yakni, minor seminary, Prepadeutic Year, Philosophy Year, Postulancy, Novitiate, Theology, Pastoral Year, SIMI, Kaul Kekal, Diakon, Imamat, dan Misi. Namun yang diuraiakan di sini hanya beberapa tahap penting dalam pembentukan calon imam.
8.2.2. Propedeutic Year (Tahun Pra-Filsafat/Pra-Novitiate)
Secara gamblang Propedeutic Year dapat diartikan sebagai tahun persiapan. Tahap ini berlangsung selama satu tahun. Tahap ini dibentuk untuk menerima setiap kandidat (calon) yang ingin bergabung menjadi anggota Scalabrinian setelah mereka melewati tahap pendidikan di minor Seminari ataupun yang bukan (SMA/sederajat). Selain itu, tahap ini juga diperkenalkan sebagai tahap persiapan untuk masuk ke jenjang berikutnya yakni tahun filsafat.
Masuk menjadi anggota Scalabrinian, semenjak tahun persiapan seorang calon mesti melewati sekian syarat dan tuntutan. Syarat dan tuntutan itu (secara umum) terpatri dalam lima (5) dimensi pembentukan calon religius Scalabrinian. Kelima dimensi itu antara lain, Dimensi Kemanusiaan, Spiritual, Kehidupan Religius, Intelektual dan Kehidupan Apostolik seturut Karisma Kongregasi Scalabrinian.
Umumnya selama masa persiapan para calon diperkenalkan pula beberapa metode pembelajaran terutama beberapa introduksi penting ke tahun filsafat dan teologi. Kehidupan doa, katekese,dan pembentukan personalitas juga turut menjadi bagian dari tahap pembinaan dan pembentukan selama masa persiapan ini. Di Indonesia Propedeutic berlangsung di Ruteng – Flores.
8.2.3. Philosophy Year (Tahun Filsafat)
Tahap ini dikenal sebagai tahun filsafat yang umumnya berlangsung selama empat tahun (beberapa negara 2/3 tahun). Tahap ini juga menjadi bagian dari tahap pra-Novisiat. Pada tahap ini setiap calon dibimbing selain untuk belajar filsafat juga untuk semakin memperdalam pengenalan mereka akan kongregasi. Tahap ini juga memilki karaketerisasi tersendiri yakni lebih organik dan penuh tuntutan yang besar dibandingkan dengan tahap sebelumnya.
Pada tahap ini, tujuan program formasi para calon adalah memastikan setiap perjalanan panggilan akan mencapai level yang lebih besar melalui pertumbuhan kemanusiaan dan spiritual, studi filsafat dan pengetahuan yang lebih detail tentang kongregasi dan terutama melalui keinginan para calon untuk mendedikasikan diri mereka bagi pelayanan untuk para migran. Periode ini berakhir ketika para seminarian (calon) melalui dialog dengan formatornya membuat keputusan baik untuk memutuskan perjalanan panggilannya maupun untuk melanjutkannya ke tahap berikut, Postulancy dan Novisiat.
Dengan demikian, pengenalan akan kelima dimensi pembentukan menjadi Scalabrinian tetap berlanjut dan semakin terarah ke kematangan para calon sesuai dengan pilihan hidup mereka. Akan tetapi tuntutan yang diberikan sedikit berbeda karena pada tahap ini setiap calon secara sungguh-sungguh berdasarkan sistematisasi pola pikir filosofis mampu membentuk mereka untuk memperdalam panggilan hidup membiara, mengikuti Kristus melalui jejak Scalabrini. Discernmen akan motivasi panggilan yang sungguh-sungguh menjadi tuntutan penting. Di Indonesia tempat Filsafat berlangsung di Maumere – Flores.
8.2.4. Postulancy Year (Masa Postulansi)
Postulansi berlangsug selama satu tahun. Tahap ini merupakan periode persiapan untuk memasuki tahap berikutnya yakni Novisiat. Setiap karakter yang ditampilkan dalam tahap ini semakin solid dan detail serta kompleks dan menantang. Tahap ini juga memiliki program yang spesifik dengan seting waktu yang jelas guna kelangsungan pembinaan setelah berkonsultasi dengan General Administrasi. Tahap ini sepatutnya tidak dibingungkan dengan tahap filsafat.
Setiap calon yang diterima ke Postulansi hanyalah mereka yang telah membuat pilihan untuk memilih jalan hidup Scalabrinian, di bawah penilaian para formator serta telah mendemonstrasikan sikap manusiawi, cara hidup kristiani dan scalabrinian dan mampu menghidupinya. Hal ini tidak berarti seorang calon secara penuh memikul semua kewajiban hidup religius tetapi mampu menjalankannya secara perlahan-lahan. Dalam tahap ini kelima dimensi tetap dijalankan dengan semakin spesifik dan penuh tuntutan. Di Asia Postulansi berlangsung di Filipina.
8.2.5. Novitiate Year (Masa Novisiat)
Novisiat merupakan satu jenjang persiapan yang cukup spesifik yang berlangsung selama satu tahun. Jenjang ini diarahkan kepada persiapan para calon untuk suatu penyerahan diri secara total kepada Kristus dan Gereja dalam Kongregasi Scalabrinian. Dengan bantuan seorang Novis Master (Magister Novis) dan komunitas para Novis hendaknya:
- Belajar untuk menghidupi semangat kekudusan hidup apostolic Scalabrinian secara lebih mendalam sebagai satu pengalaman religius; memperdalam motivasi untuk pilihan hidupnya, mengenal secara baik sikap iman dan mengasimilasi nilai-nilai dan karisma Scalabrinian
- Membuktikan kesesuaian hidupnya untuk hidup sebagai Scalabrinian dalam hal kemampuan diri dan komunitas agar sampai pada kepantasan moral berdasarkan motivasi-motivasi posotif
- Secara konstan mengarahkan hidup, pikiran dan hati atas hadiah panggilan kepada Tuhan dalam pelayaan kepada para migrant dalam semangat Salabrini – dengan misionaris “ad migrantes’ dan berjuang untuk rahmat kesatuan yang berhubungan dengan kontemplasi dan aksi apostolik
- Mengenal gaya hidup evangelical dalam persetujuan dengan panggilan Scalabrinian
- Mengalami hidup bersaudara setiap hari melalui hidup yang aktif dan partisipatif dalam hidup dan misi komunitas
- Persiapan untuk menyerahkan diri secara total kepada Tuhan secara jujur dan bebas pada kaul pertama dan memasuki proses yang panjang dan penting seumur hidup
- Mengklasifikasi, mengalokasi, dan menyimpulkan Project of Life-nya agar menjadikannya lebih terarah pada Fathers Project untuk hidupnya.
Seperti halnya Postulansi, Novisiat di Asia berlangsung di Filipina.
8.2.6. Para Scalabrinian Setelah Novisiat (Theology Year dan Pastoral Year sampai Tahbisan Suci)
Dengan kaul pertama, para Scalabrinian religius memulai tahap “hidup suci” (consecrated life) yang merupakan tahap yang paling penting dalam formasi hidup religius. Selama tahap ini seorang frater, dengan bantuan anggota komunitas, para formator, spiritual direktor, mereka mulai melengkapi proses pendewasaan diri untuk sampai kepada kaul kekal. Sebagai seorang religius, dia mengembangkan berbagai macam aspek dalam menyuburkan panggilannya.
Dalam kongregasi Scalabrinian, setelah tahap Novisiat selesai para calon kemudian melanjutkan studinya ke jenjang Teologi. Umumnya mereka akan bergabung dengan para teologan yang berasal dari berbagai negara lain. Mereka diperkenalkan dengan cara hidup religius dalam konteks komunitas internasional.
Saat ini Kongregasi Scalabrinian merilis program baru untuk pembentukan calon imam terutama bagi post-novis. Segera setelah mereka mengikrarkan kaul pertamanya mereka akan dikirim untuk studi teologi di beberapa negara pilihan seperti Manila, Colombia, Brasil dan Italia.
Teologi berlangsung selama tiga tahun dengan masa potongan satu tahun untuk praktek pastoral setelah tahun kedua teologi. Praktek patoral dapat saja dilakukan di tempat misi atau di rumah formasi. Setelah praktek pastoral selesai para teologan akan kembali melanjutkan studi teologi mereka sambil mempersiapkan diri untuk kaul kekal. Setelah teologi di negara tertentu selesai (dengan thesis ataupun tanpa thesis) dan selesai pula pengikraran kaul kekal para teologian akan di kirim ke Roma untuk melanjutkan studi di SIMI.
8.2.7. SIMI
SIMI (Scalabrini Internasional Migration Istitute) merupakan lembaga studi bagi para Scalabrinian setelah mereka mengucapkan kaul kekal serta menyelesaikan tiga tahun teologi di negara tertentu. SIMI bertujuan untuk memperdalam pengetahuan para Scalabrinian tentang mobilitas migrasi manusia yang dianilisis berdasarkan kaidah ilmiah. Selain itu melalui SIMI seorang Scalabrinian diajukan untuk meraih licensia dalam bidang Teologi Mobilitas Manusia. SIMI bagi para Scalabrinian hanya berpusat di Roma. Setelah SIMI para Scalabrinian mempersiapkan diri mereka untuk tahbisan Diakon dan Imam dan setelahnya akan dikirim baik ke tempat misi, rumah formasi maupun studi lanjut berdasarkan keahlian mereka masing-masing.
8.3. Scalabrinian dan Misi untuk Para Migran
Gema globalisasi dan dampaknya telah memaksa setiap orang untuk bermobilisasi demi pencapaian masa depan yang lebih cerah, melewati setiap batas wilayah dan negara baik secara legal maupun ilegal. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya migran yang meninggalkan tanah air mereka (contohnya Indonesia) untuk menjadi tenaga kerja di negara tetangga ataupun melampaui negara kerabat.
Di Asia misalnya, Indonesia dan Filipina merupakan negara penghasil migran terbesar sedangkan Malaysia, Singapura, Brunei Darusalam menjadi negara “tadah” (tujuan) yang setiap tahunnya menerima ribuan bahkan jutaan migran dari ke dua negara di atas. Lebih dari itu Timur Tengah juga menjadi negara tujuan para migran terutama Indonesia dan Filipina serta USA dan Canada bagi para “Pinoy’s” (Filipina).
Scalabrinian yang terpanggil dalam misi khusus bagi para migran, pengungsi, dan pelaut kemudian memperluas misi mereka bagi para migran lintas budaya dan lintas agama. Misalnya, di Filipina Scalabrinian telah member kontribusi besar bagi negara juga pengembangan misi Gereja dengan mendirikan Pusat Studi tentang Migrasi, Rumah Misi bagi para Migran (asrama), mendirikan OFW (Overseas Filipino Workers), menetapkan hari pelaut setiap tanggal 26 September dan usaha lainnya untuk membantu para migran dan keluarga mereka. Di Indonesia para Scalabrinian baru saja memulai usaha mereka yaitu bekerjasama dengan gereja lokal dalam membantu menyebarluaskan pengetahuan tentang migrasi dan dampaknya melalui ceramah dan kerjasama lintas pastoral antar keuskupan.
Di Taiwan para Scalabrinian misionaris berusaha secara kreatif melayani para migran terutama migran lintas agama dengan mencanangkan beberapa kegiatan bersama guna meninjau dan memberikan sosialisasi tentang migrasi dan bantuan lain yang berkaitan dengan migrasi. Demikian pula di negara lain seperti Australia, Jepang, dan negara-negara lain yang tersebar di kelima benua di dunia. Scalabrinian telah menyalurkan kontribusi suci demi keselamatan umat manusia baik demi kesejahteraan jasmani maupun rohani.
Kristoforus Betu
Yulius Woi
Heribertus Affandi
Matthias Herdianto Sujono